Wartawan Bodrex

Jumat, 17 Juni 2011


Pernyataan Bambang Harymurti [BHM] di Surabaya, soal wartawan di DPR yang tidak jelas identitasnya mulai menuai protes. Eks ketua MPR, Hidayat Nurwahid meminta BHM mengklarifikasi pernyataan itu karena katanya demi ketenangan wartawan di DPR.  Tak terlalu jelas benar: mengapa Hidayat lalu merasa perlu bereaksi dengan pernyataan BHM.  Kemarin, di Twitter ini, beberapa orang sudah lebih dulu memprotes BHM dan menudingnya tak tahu persoalan soal wartawan di DPR. Saya setuju dengan BHM dan Dewan Pers yang akan menertibkan wartawan di DPR.  Tapi di sini, saya tertarik membahas soal wartawan bodrex yg kembali muncul setelah pernyataan BHM itu & kelakuan wartawan nonbodrex. 
Dari istilahnya, wartawan bodrex sebetulnya bukan benar wartawan. Mereka sekumpulan orang yang mengaku-aku wartawan.   Dan wartawan bodrex itu bisa siapa saja: intel, pengangguran, dan sebagainya. Tapi jelas mereka tak punya media.  Salah besar kalau menganggap wartawan bodrex tak punya tanda pengenal: kartu press itu. Mereka punya.   Di zaman sekarang, kartu press bisa dibuat dengan mudah, dengan harga murah.  Seorang wartawan [bukan bodrex] di Medan bercerita, kartu press di kota itu bisa dibeli dengan ongkos Rp 150 ribu.  Di kartu press [wartawan bodrex] itu, juga dengan mudah ditulis nama media apa saja.  Sering nama media [wartawan bodrex] dimirip-miripkan dengan nama media yang sudah dikenal. Tapi biasanya, nama media yang tercantum di kartu press wartawan bodrex rada-rada aneh. Misalnya, Mingguan Gerhana Bulan dan sebagainya.
Istilah wartawan bodrex muncul, karena kelakuan mereka membingungkan atau membuat pusing sumber berita. Itu sederhananya.  Wartawan bodrex sudah ada sejak lama, tapi jumlah mereka kini jauh lebih banyak.  Salah satu ciri wartawan bodrex: selalu mengancam sumber berita, terutama kalau tidak diberi atau mendapat sesuatu. 
Pertanyaannya: kenapa muncul orang-orang yang lalu disebut sebagai wartawan bodrex itu?  Dugaan saya, karena mereka melihat dan tahu kelakuan wartawan yang bukan bodrex dan kelakuan sumber berita. Sudah bukan rahasia, banyak wartawan nonbodrex dengan identitas dan media jelas, yang berselingkuh dengan sumber berita. Dan sudah jamak pula, banyak sumber berita yang memberi sesuatu kepada wartawan nonbodrex, untuk kepentingannya.  Mereka bekerja dengan prinsip simbiosis mutualisme: wartawan nonbodrex dapat sesuatu, sumber berita mendapat apa yang diinginkan.
Aliansi Jurnalis Independen menyebut mereka wartawan amplop, meski pemberian dari sumberberita kini juga bisa ditransfer ke rekening. Mereka, wartawan nonbodrex itu tidak menodong seperti kelakuan wartawan bodrex tapi jelas tak menolak bila diberi sesuatu. Minimal wartawan nonbodrex, selalu berharap ada sumber berita yang mau bersedekah kepada mereka.  Penyebabnya banyak. Antara lain karena [alasan] gaji mereka yang tak memadai, ada juga karena sudah jadi tabiat.  Sebagian bos media menyetujui kelakuan mereka, minimal tak mencegah, sebagian lagi terang-terangan melarang. 
Dan wartawan nonbodrex semacam itu ada di mana saja, dan bisa berasal dari media apa saja.  Jika mereka wartawan ekonomi, mereka misalnya bisa memainkan informasi tertentu untuk mengerek atau mematikan harga saham tertentu.  Bisa juga mempromosikan produk tertentu lewat berita, karena dijanjikan mendapat produk yang diberitakan.  Di hiburan, wartawan semacam itu, bisa “menjual” isu artis atau para pesohor untuk menaikkan popularitas si artis. Di politik, mereka bisa menggoreng isu tertentu untuk kepentingan partai tertentu, kelompok tertentu dan sebagainya. Seorang wartawan bercerita, saat musim pemilihan ketua umum Partai Demokrat tahun lalu, banyak wartawan yg “bekerja” untuk para calon. Ada wartawan yang “bekerja” untuk Marzuki Alie, bekerja untuk Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng. 
Tapi redaktur yang jeli biasanya tahu, laporan wartawan yang beraroma pesanan atau tidak.  Cuma celakanya, yang juga sering terjadi, wartawan di meja redaksi, justru “mengatur” reporternya melakukan pekerjaan memalukan. Dengan kewenangannya, wartawan di meja redaksi, mengarahkan reporter untuk menghubungi atau tak menghubungi sumber tertentu. Alasannya bukan karena soal kredibilitas sumber berita tapi untuk kepentingan sumber berita atau tujuan politik/ekonomi tertentu. Yang menyedihkan, sebagian sumber berita, juga sering langsung menghubungi wartawan di meja redaksi untuk kepentingan mereka. 
Dari semua kelakuan wartawan itu, yang paling berbahaya tentu adalah kelakuan bos media: pemimpin redaksi atau pemilik media. Dengan kekuasaannya, mereka bisa menyuruh para wartawan untuk mengangkat dan menurunkan berita tertentu. Mereka juga dengan gampang, bisa menyingkirkan informasi tertentu dan memilih informasi tertentu pula.  Ada wartawan yang berseru, hal itu biasa sepanjang dilakukan melalui rapat redaksi.  Tapi dia lupa, kebanyakan rapat redaksi hanya sekadar formalitas. Benar, setiap peserta rapat redaksi memang membawa usulan dan agenda masing-masing, dan forum rapat yang memutuskan.  Tapi siapa yang kemudian mengetok kata akhir keputusan peserta rapat, kalau bukan pemimpin rapat [pemred]? Tidakkah juga sudah bukan rahasia: banyak bos media atau pemred yang bergerilya untuk kepentingan sumber berita tertentu? Dan naif bila ada yang berkata, para bos media atau pemred itu kemudian tak mendapat imbalan tertentu pula.
Dibandingkan “amplop” yang diterima para wartawan, "amplop" untuk bos media atau pemred tentu lebih tebal. “Amplop” itu tak harus berwujud uang, melainkan bisa juga berupa fasilitas, kemudahan, jabatan, dan sebagainya. Tentu dengan cara kerja wartawan semacam itu, publik akan dirugikan karena informasi telah dikorupsi, jauh sebelum jadi berita. Tapi di sini, siapa yang peduli dengan wartawan yang hidup nyaman dalam atmosfer yang menjijikkan semacam itu? Politisi, pejabat, pengamat, pengusaha, polisi, jaksa, pengacara, penyanyi, bintang film, tokoh agama dan LSM, dan sebagainya? Tidak. Mereka juga nyaman bekerja sama dengan wartawan, sepanjang saling menguntungkan dan sesuai dengan kepentingan mereka.
Nah, kelakuan wartawan dan sumber berita semacam itulah yang menginspirasi orang-orang  tertentu untuk mengaku-aku sebagai wartawan. Muncullah istilah wartawan bodrex atau wartawan gadungan, untuk menyebut kelakuan wartawan yang menjijikkan dan memalukan itu. Ia, wartawan bodrex itu diakui atau tidak, adalah cermin dari cara kerja wartawan nonbodrex yang bobrok. [sekian] TKP



Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.