Gita Cinta dari "SMA"

Rabu, 03 Agustus 2011

Hari-hari ini perasaan saya sedang membuncah. Setiap kali Ramadhan tiba, suasana indah ini sedemikan kuat terasa. Dunia sedang berbenah sepertinya. Alunan kalam ilahi yang membahana di seantero negeri membelah petala langit dengan merdunya. Malam-malam yang biasanya senyap, serentak hiruk pikuk oleh isak tangis penyesalan dan keharuan akan harapan. Senyum ditebarkan tanpa tendensi duniawi semata. Kesabaran diejawantahkan dengan begitu menawan dalam halusnya budi pekerti yang agung. Semangat bersaudara seakan tiada lagi sekatnya.

Setali tiga uang kondisi kehidupan riil kita. Roda ekonomi seperti tersengat untuk bergerak lebih cepat sekian kali lipat. Nilai inflasi berderap naik tapi sangat dimaklumi oleh para pengamat ekonomi. Para karyawan berlomba ingin sampai di rumah tepat pada waktunya untuk menikmati kebersamaan dalam manisnya kolak pisang, dan segarnya es blewah “mendampingi” sepiring ta’jil pembuka puasa sekeluarga. Media informasi 24 jam tanpa henti menayangkan program acara religi. Para “seniman” seperti berlomba mencipta kreasi islami. Lagu, pentas sinetron, syair, hingga pariwara begitu indah menyajikan keteduhan ruhani yang suci.

Sungguh hati ini tengah berbunga-bunga. Saya kira para pembacapun punya rasa yang sama. Allah memang sedang  “mengobral” cinta-Nya kepada kita. Bukit kerinduan itu mencair sudah, mengalir sejuk di setiap alur denyut nadi. Luapan segenap kasih sayang seperti membuncah memenuhi setiap rongga dada dan sudut hati. Tak ada sedikitpun rasa sesal walau sehari penuh dilarang makan, minum, mengumbar hawa nafsu. Keletihan yang terasa, sirna begitu saja ketika raga ini tunduk patuh dalam pusaran dzikir-dizikir tarawih. Keinginan nafsu yang begitu mendesak di sepanjang hari tuntas oleh seteguk air keikhlasan ketika maghrib menjelang. Tak heran memang, jika bahkan anak-anak kecilpun berkehendak ikut berpuasa, karena memang begitu indah nuansa cinta yang tercipta.

Tak berlebihan pula jika saya sebut segala pesona ini laksana gelora Gita Cinta dari yang Maha Kuasa. Tak sulit pula mengukurnya. Dengan sedikit rasa humor di hati Anda, cobalah bandingkan, bagaimana “sinkronnya” perilaku kita saat puasa dengan apa yang kita lakukan ketika dulu barangkali kita sedang jatuh cinta. Maka seuntai benang merah akan muncul di antara keduanya. Sungguh Ramadhan ini ibarat cerita Gita Cinta dari “SMA”.

S = Shaum

Manusia terlahir dengan sebuah karunia terbaik yang Allah berikan : Akal. Sebuah anugerah yang menuntun manusia menjadi cerdas. Dengan potensi kecerdasan itulah manusia bisa belajar memilah dan memilih. Agama menyebutnya dengan proses Ihktiyar. Secara bahasa Ikhtiyar bermakna “memilih yang baik”. Jadi jika seseorang memilih korupsi untuk mencari rezeki, maka itu tidak bisa disebut Ikhtiyar, karena pilihannya sama sekali bukan sebuah kebaikan. Potensi cerdas untuk memilih itu seharusnya menjadikan semua pilihan manusia jatuh pada sebuah pilihan yang baik dan sesuai dengan fitrah. Bukan pilihan yang buta. Bukan pula pilihan yang merusak. Jika itu terjadi, maka itu bermakna kehalusan akalnya untuk memilih telah kalah oleh nafsu. Sebuah potensi lain yang sisi negatifnya akan membawa manusia menempuh segala cara agar tujuan tercapai. Terlepas cara itu baik ataupun buruk.

Shaum adalah media yang Allah ajarkan kepada kita untuk mengembalikan jernihnya kecerdasan itu. Tapi Allah juga tidak menghendaki nafsu itu dimusnahkan. Karena nafsu adalah juga potensi naluriah manusia yang berguna untuk membantu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Sebab kalau tidak berguna, tentu malaikat-lah yang diutus mengemban amanat mulia ini. Maka shaum adalah sarana bagaimana iman menuntun akal untuk bisa kembali memberikan pilihan yang tepat sekaligus menjadi pengendali bagi nafsu agar tidak bertindak semaunya.

Coba kita rasakan, betapa ini adalah bukti nyata cinta Allah kepada kita? Bagi kita juga, cinta sejati adalah cinta yang cerdas, cinta yang membimbing dan melindungi, cinta yang memberi dan mengasihi. Cinta sejati tidak akan merusak, menodai, memaksa, juga tidak akan menyakiti. Kalau keburukan itu sampai terjadi, maka yakinlah itu bukan cinta, tapi adalah nafsu yang mengatasnamakan cinta. Maka indah dan cerdasnya cinta itu pula yang membawa kita saat ini untuk menyempurnakan separuh agama dalam mahligai pernikahan yang suci. Bagi yang belum, kecerdasan ilahiyah itu akan menuntun anda secara naluri untuk menemukan cinta yang hakiki.

Shaum mendidik kita kita untuk cerdas mencintai dunia,dengan mengelolanya dengan optimal dan tidak merusaknya. Shaum mengajarkan kita untuk cerdas mencintai harta, dengan menggunakanya untuk menyenangkan lebih banyak saudara kita. Shaum mengajak kita cerdas mencintai agama, dengan menekuninya dengan patuh dan tidak mengada-ada. Shaum mengajak kita cerdas mencintai diri kita, dengan mengatur pola makan dan istirahat dengan sebaik-baiknya. Shaum mengajak kita untuk cerdas mencintai keluarga kita, dengan lebih banyak berkumpul dan berjamaah dalam berbagai masa.

M= Muhasabah

Kalau kita sedang dilanda cinta. Coba hitung berapa kali kita bercermin dan berkaca. Sudah berkali-kalipun seakan tak puas rasanya. Dipantas-pantaskan, dihalus-haluskan, dirapi-rapikan. Semuanya demi penampilan sempurna kepada orang yang kita cintai atau hormati. Tapi jika ingin melihat bagaimana wajah asli kita, tentu yang paling tepat adalah melihatnya ketika tanpa hiasan apapun. Saat itulah nampak di mana ada kotoran yang mengotori wajah kita. Nampak di sebelah mana keriput itu mulai muncul pada kulit kita. Tentu setelah tahu “cacat” itu, biasanya kita membersihkan dan mengobatinya, dan bukan malah memcahkan cerminnya.

Demikian pula ibaratnya Ramadhan ini. Di bulan ini Allah menginginkan kejujuran nurani dari kita. Melepaskan segala atribut keduniaan dan segala kepalsuan yang fana. Meletakkan diri ini dalam jiwa kepolosan terdalam. Menyadarkan kita bahwa selama ini terlalu banyak sekat-sekat keduniaan yang membatasi nurani kita dengan dengan dunia. Status sosial ditentukan oleh sebuah dasi atau selembar baju penutup badan. Penghormatan didasarkan atas posisi jabatan kita. Kebanggaan diukur atas kemampuan menumpuk perhiasan.

Maka sekat-sekat itulah yang diluluh lantakkan oleh Ramadhan. Kita diajarkan bahwa pakaian yang kita kenakan tidak menghalangi apapun kewajiban kita kepada Tuhan. Bahwa rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan, adalah sama dengan apa yang dirasakan segenap umat Islam dari berbagai golongan di seluruh penjuru bumi. Bahwa kenikmatan yang dirasakan oleh atasan ketika berbuka adalah sama nikmatnya dengan bawahan, karena dirasakan dengan segenap kesyukuran. Ternyata yang menguatkan tekad dan kemampuan kita menembus keletihan dan bertahan dari rasa lapar dahaga itu bukanlah limpahan kekayaan yang ada pada kita, tapi lebih pada kekuatan iman yang paripurna.

Maka setelah semua hiasan keduniaan itu sirna. Nampaklah sesungguhnya siapa diri kita. Betapa sebagai manusia, kita terlalu lihai bersembunyi dibalik semua perhiasan itu. Sehingga ketika semua perhiasan itu dibuka, nampak banyak nian cacat dan aib yang tersandang di badan ini. Tapi memang itulah tujuan bercermin bukan? Agar segala kotor di wajah ini bisa kita bersihkan dengan sempurna. Mumpung di bulan berkah ini. Allah memberikan “cairan pembersih” secara obral besar-besaran. Tak kira berapa besar dosa kita. Asal kita mau melepas semua hiasan semu keduniaan kita, lalu dengan tulus mengakui satu-satu cacat dan aib kita dibulan ini dihadapan Allah. Maka bukan sekadar sejuknya pengampunan yang akan kita terima, tapi juga teduhnya cinta dan kasih sayang yang agung.

A = Al-Quran

Syahrul Qur’an, bulan bacaan yang agung. Demikian salah satu gelar yang disematkan kepada bulan Ramadhan ini. Inilah bacaan penuh keajaiban itu. Bacaan penuh mu’jizat yang mengilhami diterbitkannya ratusan bahkan ribuan jilid kitab untuk membahasnya yang bahkan tidak berhenti sampai saat ini. Dan inilah “surat cinta” Allah kepada kita umat-Nya. Bahkan untuk membukanya, Allah memulai dengan dua nama-Nya : “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”. Yang maha pengasih dan penyayang. Subhanallah, Dia punya 99 nama yang agung, tapi memilih dua nama itu untuk “memperkenalkan diri” di awal surat-Nya. Seakan-akan Dia berkata bahwa semua isi dari Kitab suci ini adalah bukti nyata cinta-Nya yang mulya kepada kita umat manusia. Bahkan jika ada ayat yang berisi ancaman, atau cerita mengenai kejamnya siksa neraka, itu-pun adalah ungkapan kasih sayang agar kita tidak terjerumus kedalam jurang kesesatan tanpa ujung.

Allah sendiri menyampaikan, bahwa salah satu karakteristik orang mu’min adalah bergetar hatinya jika disebut asma-Nya, dan bertambah keyakinannya jika dibacakan ayat-ayat-Nya. Jadi bagaimana hendak bergetar hati ini jika membaca surat-Nya pun tak pernah? dan bagaimana hendak menancap keyakinan sejati jika tak pernah membuka kitab suci? Maka dibulan inilah persemaian cinta itu dihidupkan lagi. Di bulan ini, setiap huruf dari Al-Quran dinilai demikian berharga dimata ilahi. Di bulan ini, setiap desah nafas ketika kita membacanya adalah pengantar kuadran pahala yang menembus langit. Tidak peduli apakah kita membacanya dengan penuh makna dalam ketekunan sehingga mengkhatamkannya dalam sebulan. Ataukah ingin meniru imam syafi’i yang biasa mengkhatamkannya tiga kali dalam sehari. Semua akan bermuara pada satu tempat : Mardhotillah.

Nah, adakah waktu dengan kemulyaan yang lebih dahsyat dari bulan ini? Adakah kesempatan yang lebih terbuka untuk menuai pahala dan juga tentu saja cinta-Nya selain pada bulan ini? Adakah masa yang lebih berharga dan membahagiakan ketika berbagi selain masa shaum ini? Jikalau memang Ramadhan adalah satu-satunya jawaban pasti, semoga kita bisa menjadi pribadi penuh taqwa, dan bukan termasuk golongan yang melewatkan Ramadhan dengan merugi. Wallahu a’lam
Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.