Ini Curhat Warga Rohingya pada Hidayat Nur Wahid

Sabtu, 25 Agustus 2012

Warga Rohingya berkisah soal kehidupan mereka di Myanmar. Mereka ingin diakui sebagai warga asli Myanmar. Kepada politisi PKS yang juga anggota DPR Hidayat Nur Wahid, warga Rohingya ini menyampaikan curhat mereka.

"Kami menuntut hak-hak dasar warga Rohingya dipulihkan sesuai dengan komitmen kemerdekaan 1947. Kami tak ingin memisahkan diri karena warga Rohingya penduduk asli Arakan (Rakhine State) sejak ratusan tahun lalu," ujar Abu Tahay yang juga pendiri National Democratic Party for Development (NDPD), seperti disampaikan politisi PKS Sapto Waluyo dalam surat elektroniknya, Sabtu (25/8/2012). Hidayat memimpin rombongan PKS ke Myanmar.

NDPD telah mengajukan 3 petisi kepada pemerintah dan DPR agar memperhatikan hak warga Rohingya. Selama ini kehidupan warga di Myanmar rukun penuh toleransi. Masjid Jami di kawasan Sule, Yangon menjadi saksi toleransi kehidupan umat beragama di negeri itu. Masjid yang dibangun ratusan tahun lalu itu berseberangan dengan Pagoda Sule yang sama tuanya.

Kedua rumah ibadah bagi kaum Muslimin dan Budhis itu dihubungkan dengan sebuah jembatan penyeberangan di pusat kota Yangon. Jembatan persa.

"Masjid itu diberi label 'Sunni-Bengali'. Padahal, sebenarnya masyarakat yang tinggal di sekitar situ dan sering beribadah di masjid kebanyakan dari Rohingya, disamping etnik Bamar, China dan Myanmar yang Muslim," tutur Abu Tahay.

Patriotisme etnik Rohingya juga tak diragukan lagi, hingga diakui oleh Jenderal Aung San, pahlawan kemerdekaan Burma melawan penjajah Inggris. "Bahkan di abad 18, rakyat Arakan membantu Kerajaan Bagan saat menghadapi serangan Kerajaan Siam, sehingga Raja Toungoo memberi hadiah dengan membangun Masjid Champa di pusat kota Yangon, tak jauh dari Masjid Jami Sule," cerita Abu Tahay, yang bernama asli Taher.

Masalah kewarganegaraan sangat sensitif, karena penguasa mengeluarkan sekurangnya tiga aturan yang berbeda sejak kemerdekaan. Hak warga Rohingya untuk berpartisipasi dalam pemilu dibatasi karena belum dinyatakan sebagai etnik resmi. Bahkan, penduduk Arakan muslim dilarang berpergian lintas wilayah tanpa izin aparat setempat.

"Anak saya sudah kuliah di perguruan tinggi, sampai sekarang belum dapat kartu identitas. Padahal, saya, orangtua saya dan kakek kami warga asli dan dapat ID card," kata Ansari yang tinggal di Yangon. Nasib warga Rohingya lebih mengenaskan lagi.

Hidayat Nur Wahid mendukung inisiatif Ketua DPR Myanmar untuk menuntaskan status kewarganegaraan berbagai komunitas etnik.

"Status yang jelas bagi etnik Rohingya akan menjamin hak dan kewajibannya sebagai warna negara Myanmar. Hal itu akan meredam konflik dengan etnik Mough yang beragama Budhis di Rakhine. Mereka sesama warga negara yang sederajat," ungkap Hidayat, saat berdialog dengan organisasi Islam di Myanmar.

Tokoh ormas Muslim yang hadir ialah: H. Moulana Yusoof alias U Thein Myint (Wakil Ketua Jami'atul Ulama Organization), H. U Kyaw Soe (Sekjen All Myanmar Molvi Organization), H. U Myint Tun (Ketua All Myanmar Muslim Youth Religious Organization), H. Ansari alias U Nyunt Maung Shein (Ketua Islamic Religious Affairs Council/IRAC), dan U. Kyaw Khin (Sekjen Myanmar Muslim National Affairs Organization/MMNAO)
TKP
Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.