Kader Harus Jadi SOCIAL LEADER

Jumat, 08 April 2011


Dari sejak semula kita meyakini ajaran-ajaran Allah SWT merupakan ajaran terbaik bagi manusia. Atas dasar pemahaman Islam itulah, sebuah pemahaman yang integral kita mengembangkan aktivitas-aktivitas da'wah kita untuk menyentuh kebutuhan manusia. Kondisi ini, sesungguhnya sesuai dengan tahapan-tahapan da'wah dan mihwar da'wah kita. Diharapkan dengan kesadaran itu tumbuh dan meningkat kesadaran kita semua dalam rangka semakin terus memperluas kebajikan yang kita lakukan.


Sebenarnya, peningkatan kesadaran itu akan semakin tercapai bila kita sampai pada mihwar dauli. Dalam kepentingan ini kita harus menyadari bahwa peningkatan kesadaran secara luas perlu didukung oleh regulasi-regulasi yang ada. Dan regulasi ini ternyata dalam implementasinya harus didukung oleh negara. Karena negara-lah aktor utama penentu kebijakan. Sampai mihwar dauli sekalipun, ternyata kita masih butuh waktu untuk bisa melahirkan regulasi-regulasi yang bermanfaat sebagai pengelola negara.

Sekarang ini, mihwar da'wah kita berada pada mihwar muasasi. Di mana kalau kita lihat, dari keempat mihwar da'wah yang ada, satu sama lain ternyata merupakan mata rantai dan satu kesatuan. Mihwar yang satu menjadi pengantar (mukadimah) bagi mihwar yang berikutnya.

Dalam fase da’wah awal kita, saat kita berada pada mihwar awal (poros struktural) kita secara sistematis terus membangun kader-kader da'wah. Kita juga terus memproduksi sebanyak mungkin para kader da’wah, yang tidak lain para da’i dan da’iyah. Di era ini, kita terus membangun kader yang mumpuni sesuai dengan tuntutan da'wah saat itu. Bagaimana kita melahirkan itu semua Itu kosentrasinya.

Setelah mihwar ini berjalan, mihwar berikutnya yang masuk sebagai pembuka selanjutnya adalah mihwar ijtima’i. Dalam konteks ini, di sebut pula poros sosial. Dalam poros sosial ini, tampil tokoh-tokoh kemasyarakatan yang diakui oleh masyarakat. Poros ini juga mendorong agar para kader mampu berkembang menjadi tokoh masyarakat yang jadi panutan dan menjadi teladan bagi masyarakat. Mihwar ini juga yang pada akhirnya akan melahirkan social leader. Sekedar flasback, dalam masa ijtimai kita memang mendorong seluruh kader untuk membangun masyarakat melalui 3 hal yaitu :

1. Pelibatan kader-kader di tengah masyarakat dalam memberikan advokasi kepada problem masyarakat. Dalam konteks ini para kader di dorong jadi problem solver dalam membantu masyarakat. Kita fokus dalam sejumlah aspek dalam bidang-bidang kemasyarakatan tadi, termasuk juga yang berkaitan dengan aspek-aspek peningkatan dan perbaikan misalnya terhadap perempuan, anak dan seterusnya.

2. Dengan mendorong kontribusi kader dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam segala aspek kehidupannya.

3. Keterlibatan kader dalam penataan kehidupan masyarakat.

Ketiga langkah tadi, terlihat bagaimana kebijakan da’wah akhirnya melahirkan Wajihah Sosial dalam kerangka membangun da'wah di Indonesia. Ini semua sesungguhnya dalam kerangka memperbaiki masyarakat yang cenderung individualistis serta egoistis. Kedua sifat (individualistis & egoistis) tadi merupakan sifat yang secara hakiki bukan merupakan fitrah atau sifat asli manusia. Artinya, sifat individualistis dan egoistis memang bukan sifat manusia yang selaras dengan fitrahnya.

Allah menyebut hal ini dalam sejumlah ayat yang pada intinya menjelaskan bahwa manusia diciptakan Allah dalam kelompok-kelompok yang kemudian hidup dan berada dalam kebersamaan dengan manusia lainnya. Dalam kerangka inilah, kita mendorong para kader untuk membangun masyarakat. Selain itu, kita juga menumbuhkan sayap-sayap da'wah. Namun dalam konteks penumbuhan sayap da’wah ini, tidak semata-mata bersifat afawiyah (sekenanya). Semuanya tetap harus jelas berdasarkan basic-nya. Basic ini sendiri merupakan hal fitri, di mana pada dasarnya manusia harus bisa terbangun sifat-sifat insaniahnya sesuai fitrahhya.

Selain beberapa hal tadi, terkait kedisplinan manhaj itu penting bagi kita. Manhaj itu sendiri merupakan satu kesatuan dari alam makro kosmos. Inilah kenapa Islam disebut dienul fitrah, dien yang sesuai dengan fitrah manusia. Kenapa saya menyampaikan tentang disiplin manhaj, karena bagi yang tidak sesuai dengan manhaj akan keluar datri fitrah yang aslinya. Naudzubillah, sebelum kita rusak karena musuh, bila kita keluar kita dari fitrah, maka kita langsumg saja rusak.

Jadi salah satu tugas lembaga ini adalah bagaimana melalui lembaga-lembaga seperti ini kita bisa menjaga fitrah. Termasuk di dalamnya, lembaga-lembaga seperti ini harus pula dikelola tetap dalam koridor fitrahnya.

Dalam kehidupan, telah demikian banyak kita menerima kebajikan-kebajikan dari Allah SWT. Kebajikan dari Allah ini, langsung dari Alllah SWT, tidak melalui perantara, seperti berupa oksigen yang kita nikmati setiap hari. Tanpa kita sadari, melalui perrnapasan kita, kita terus menerus menghirup oksigen setiap hari. Bahkan disebutkan, bahwa kebutuhan kita terhadap oksigen ini sampai dengan 350 kg oksigen untuk setiap orang dewasa. Kita baru sadar kalau oksigen itu mahal justeru kalau kita sudah sakit asma misalnya. Ketika kita sakit itulah kita terpaksa harus beli oksigen walau mahal sekalipun.

Selain itu, nikmat dari Allah yang berupa kesehatan juga kita terima terus-menerus secara gratis. Salah satu bukti lainnya adalah, berapa banyak bakteri yang Allah ciptakan untuk manusia. Baik itu di lambung, di mulut dan di berbagai tubuh kita, yang justeru membantu kesehatan kita. Bakteri-bakteri itu juga Allah ciptakan untuk menjaga kehidupan kita. Coba perhatikan, bahkan saat kita tidur saja, Allah menjaga kita dengan mendesain hidung kita agar tidak kemasukan serangga.

Pada gilirannya, bila manusia keluar dari semangat kebajikan. Maka ia hanya akan menghabiskan kebajikan terus menerus dan lama-lama ia akan tekor dan habis. Kata Allah dalam sejumlah ayat-ayat yang ada dalam Al qur’an, disebutkan bahwa setelah terjadi pelanggaran dan pembangkangan terhadap kebaikan-kebaikan maka Allah akan membuat hati manusia menjadi gersang. Summa kosat kulubukum, hati menjadi gersang. Setelah hati menjadi gersang, maka selanjutnya, secara perlahan, manusia akan kehilangan rasa simpati dan empatinya. Nanti dari sana akan tumbuh perasaan “bila ada yang menderita, itu bukan urusan gue”.

Dalam kondisi ini, Allah memberikan gambaran bagaimana dengan istilah qoswat qulubukum ini. Dalam konteks itu, bahkan hati manusia jauh lebih jelek dibanding dengan batu yang ada di alam sekalipun. Batu saja sebagai ciptaan Allah, masih dapat memberikan manfaat bagi manusia, sedang hati manusia yang membatu, hanya akan memunculkan ketidakbaikan saja. Bila kita cermati lagi, bahwa, kadang bahkan ada yang batu yang ketika jatuh tergelinding malah takut kepada Allah. Ini mencerminkan bagaimana batu tunduk pada ketentuan Allah. Sekali lagi, batu masih memiliki kemanfaatan, sedang hati yang bagaikan batu tidak memiliki kemanfaatan apa-apa.

Jika dalam masyarakat tumbuh konsumerisme maka akan tumbuh thoma’, dengki, hasad dan seterusnya. Karena itulah, maka Alllah mendorong kita untuk terus memproduksi kebajikan agar terus bertambah. Bila terus tumbuh hal itu, maka :

a) Pertama, sebagaimana di sampaikan Allah SWT, dalam Al Qur’an Surat Ali Imron:150, di sana dijelaskan bahwa tatanan masyarakat akan berantakan bila tidak terdapat kebajikan. Di beberapa ayat Al Qur’an juga dijelaskan bagaimana gambaran tentang defisit kebaikan.

Dalam setiap kegiatan kita seharusnya kita selalu mempelopori dan memproduksi kebajikan. Diharapkan dengan produksi kebajikan yang banyak, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang surplus kebajikan. Dalam pepatah arab dikatakan, siapa yang tidak punya kebajikan tidak akan pernah bisa memberikan kebajikan. Umat Islam sendiri sesungguhnya bukan bukan umat yg egoistis. Umat harus terus bergerak untuk secara terus terlibat dalam proses perluasan kebajikan.

Dalam QS Al Qoshos : 28 dikisahkan tentang Qorun. Di mana ketika itu, dari umat jaman nabi Musa, orang-orang kaya banyak yang tidak memberikan kebajikan. Sekali lagi bahwa kita sudah mendapat banyak nikmat dan kebajikan dari Allah. Kebajikan itu sebenarnya bukan untuk kita saja, tapi untuk semua umat manusia. Sudah tentu kemanfaatannya-pun harus semakin harus diperluas. Dengan kebajikan yang kita perluas, di dunia ini shg nikmat allah akan diperpanjang di dunia ini.

b) Kedua, berbuat kebajikanlah, sebagaimana Allah telah beri kebajikan pada kita. Kebajikan tidak boleh hanya untuk individu, tapi untuk masyarakat, sehingga kita terus meningkatkan kapasitas dalam rangka memperluas memberikan kebajikan. Bila kita lihat bangsa ini, bangsa Indonesia ternyata masih defisit kebajikan. Kondisi ini secara perlahan mengalami perubahan terutama setelah terjadinya beberapa kali musibah di Indonesia seperti tsunami Aceh, tsunami Mentawai, gempa Jogja, gempa Tasikmalaya serta banjir bandang di Wasior, Papua.

Alhamdulillah kini terlihat semangat kebersamaan di semua anak bangsa, terutama dalam hal peduli pada masyarakat. Kesadaran itu kini sudah bagus, walau masih saja dalam proporsi yang ada ternyata masih tekor. Buktinya bangsa hingga saat ini masih terus ngutang pada bangsa lain. Saya sering mengatakan pada para pejabat saat bertemu, bahwa ukuran kebijakan yang benar harus melahirkan kebajikan dalam segala aspeknya. Kita harus terus memperbesar usaha memperbesar kebajikan kita dan terus memproduksi kebajikan itu dalam sekupnya yang paling luas. Dan, menjadi tugas kita untuk memperluas kebajikan itu sekarang.

Saat ini, secara global terjadi banyak musibah oleh keanehan-keanehan yang disebabkan oleh alam, terutama karena faktor cuaca. Biasanya pergiliran cuaca bukan hanya seimbang, tapi juga tepat waktu. Bila di belahan bumi utara dingin, di selatan mesti akan panas. Tapi yang terjadi kini, di utara bersalju, di selatan juga bersalju. Sekarang suhu di Australia bersuhu di bawah 2 derajat celsius, padahal pada saat yang sama di utara juga sedang dalam musim salju hebat.

Ini semua perlu disampaikan, agar motivasi kita dalam memperluas kebajikan semakin luas. Nah, sambil terus memperbaiki kebajikan kita, jangan lupa kita juga harus terus memperbaiki diri sendiri. Untuk bisa membangun terus peradaban, tetap saja kita harus memiliki aspek material duniawi guna memperkuat infrastruktur yang ada. Kini, yang harus kita lakukan adalah memperkuat kesatuan keuamatan dan kebangsaan.

· Pertama, kita juga harus selalu menghidupkan tawasau bil haq. Dalam rangkaian kalimatnya, makna itu berarti saling. Dalam konteks itu, kata saling ini mengacu pada kita agar kita bisa terus menjaga untuk terus berada di jalan yang benar.

Suatu ketika Rosulullah saat sedang berkumpul dengan para sahabat, menggambarkan sebuah garis di hamparan pasir. Rosul mengatakan ini jalan yang benar. Setelah itu, Rosulullah juga kemudian membuat garis melintang kiri dan kanannya. Kata Rosul, jalan inilah yang akan merintangi jalan kita yang lurus tadi. Jalan yang justeru bukan menuju pada tujuan akhir, namun justeru jalan yang menyimpang.

Kebetulan, sekarang kan memang lagi trend jalan alternatif. Dalam kalimat “jalan” tadi, kata subul sendiri berarti adalah banyak. Jika kalian mengikuti jalan-jalan alternatif itu, maka kalian akan tercerai berai dan kehilangan arah. Jadi dalam gambaran ini, Al Qur’an memberikan gambaran kepada kita bahwa ada begitu banyak jalan alternatif. Dan di jalan alternatif ini ada poskonya. Selanjutnya, bahkan di setiap posko itu ada yang nunggui, ada yang aktif mengajak dan menggoda kita untuk ikut bersama mereka.

Allah menggambarkan bagaimana penjaga posko itu tidak lain orang-orang munafik, mereka memanggil-manggil dan membujuk kita. Kata mereka “ikutilah jalan kami”. Kalau kita bilang itu jalan berdosa, maka mereka dengan serta merta akan bilang : “biarlah kami yang akan menanggung dosanya”. Kata Allah : “Mereka tidak akan mampu memikul dosa mereka sendiri, jangankan dengan dosa-dosa kalian”. Ikhwatillah, Thawasol bil haq harus terus berjalan.

· Yang kedua, proses yang diharapkan adalah thawasau bi shobr. Kita semua harus mengingat jalan yang kita tempuh adalah jalan yang penuh dengan halangan dan rintangan Ini semua dilakukan untuk menjadi daya pikul kita dalam menjadi tangungjawab kita. Sebagaimana digambarkan Al Qur’an, orang-orang yang berjuang bersama para nabi itu memiliki sejumlah kesabaran ketika berjuang bersama rosul, mereka tidak lemah semangat, tidak takut dan tidak minder. Mereka juga secara fisik juga kuat, dan istiqomah. Dan jika mereka menghadapi tantangan hidup, mereka akan tegar dan istiqomah.

Dalam menghadapi anekaragam tantangan dituntut untuk terus tegar, tetap semangat dan tetap istiqomah.Orang-orang yang aktif di masa sulit, ia akan mudah melakukan aktivitas di masa datangnya peluang. Ketika itu ia akan dengan mudah untuk melakukan apa saja. Begitu muncul peluang, nanti, kitalah orang pertama yang mampu mendayagunakan dan memanfaatkannya dengan baik.

· Ketiga, menjaga soliditas internal, yaitu dengan thawashu bil marhamah. Kita harus ingat, bahwa dalam kehidupan kita ternyata memang fluktuatif, di saat-saat ada yang sedang di bawah, ia harus mendapat thawashu bil marhamah, juga semangat ruhama bainahum. Jangan sampai ia berkata, “dulu saat saya lagi sukes, semua org datang, ketika sedang susah, lalat saja tidak datang. Ketika sedang susah, muncullah jendela-jendela syetan. Ia akan merasa lebih baik hidup sendiri-sendiri saja, nafsi-nafsi. Dan ternyata bahasa nafsi-nafsi itu bukan bahasa dunia melainkan bahasa akhirat. Dihadapan Allah-lah kita akan secara sendiri-sendiri atau nafsi-nafsi dalam menghadap Allah SWT. Jadi thawashu bil marahmah itu harus terus kita hidupkan untuk menjaga potensi, agar seseorang tidak terlepas dari persaudaraan, dari sesama umat, sesama bangsa dan sesama manusia.

Sumber

Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.