Oleh
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan
Siapa nama anda, dan apa cita-cita anda? Apakah anda memiliki jargon atau kredo atau moto –atau apapun namanya—kata-kata untuk menyemangati dan mengarahkan kehidupan anda? Coba perhatikan nama saya. Cahyadi Takariawan, ini nama asli pemberian orang tua. Adakah makna atau maksud pemberian nama ini? Pasti orang tua saya memiliki maksud yang baik atas nama yang diberikan kepada saya tersebut.
Saya lahir di Jawa Tengah, di lingkungan kultur Kraton Solo. Cahyadi itu dalam bahasa Jawa, berasal dari kata “cahyo” dan “adi”. Cahyo artinya cahaya, adi artinya indah, bagus atau baik. Jadi, harapannya saya akan tumbuh menjadi manusia yang memberikan cahaya kebaikan atau cahaya keindahan bagi kehidupan. Takariawan, dari kata “takari” dan “wan”. Kata “wan” ini menunjukkan kalau saya anak laki-laki, biasanya kalau perempuan sebutannya “wati”. Takari, anda pasti heran, darimana kata ini berasal ? Dari Jepang ? Bukan. Takari itu asli Indonesia, dan sangat nasionalis.
Dahulu kala (waw… kayak orang mendongeng…..), Presiden Republik Indonesia, Soekarno, menghendaki Indonesia segera menjadi negara yang mandiri, negara yang tidak bergantung kepada bantuan negara lain. Bung Karno menghendaki Indonesia menjadi negara yang mampu “berdiri di atas kaki sendiri”, atau biasa disingkat dengan “berdikari”. Maka dengan sangat gagah, Bung Karno mencanangkan tahun 1965 sebagai “Tahun Berdikari”, dan beliau singkat dengan “Takari”. Dengan harapan semoga pada tahun 1965 itu Indonesia bisa menjadi negara yang mampu mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung pihak manapun.
Jadi kalau anda menemukan orang Indonesia yang namanya “Takari”, bisa dipastikan itu kelahiran tahun 1965. Saya punya teman namanya Takarianto, ada lagi Takariadi, ada pula Takarianti dan Takariwati. Orang tua mereka pasti pengagum Bung karno, sehingga memberikan nama anaknya dengan nama yang diberikan oleh Bung Karno untuk tahun 1965 itu. Seperti almarhum bapak saya, sangat mengagumi Bung Karno. Dua buku tebal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno menghiasi perpustakaan pribadi bapak saya. Poster besar Bung Karno menghiasi ruangan keluarga di rumah bapak saya.
Dengan demikian, nama Cahyadi Takariawan mengandung sejumlah harapan dan cita-cita. Ada harapan agar saya menjadi manusia yang memberikan cahaya kebaikan bagi kehidupan. Ada cita-cita agar saya menjadi anak laki-laki yang mampu mandiri dan berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung kepada orang lain. Apakah salah orang tua saya memiliki harapan seperti itu ? Tentu tidak salah dan sah saja cita-cita seperti itu. Namun, seandainya cita-cita orang tua saya tersebut tidak menjadi kenyataan, apakah anda merasa perlu mengejek, menghina dan menghujat orang tua saya ?
“Katanya diharapkan bisa memberi cahaya kebaikan bagi kehidupan. Ternyata justru memberi masalah bagi kehidupan. Lalu mengapa diberi nama Cahyadi. Harusnya diberi nama Trouble Maker saja, sesuai kenyataan yang ada”.
Semoga anda tidak menyalahkan bapak saya, karena beliau sudah wafat. Biarkan beliau tenang di alam barzakh, tanpa menanggung gugatan dari siapapun yang masih hidup. Nama itu bagi saya adalah upaya mengingatkan diri, perjuangan terus menerus sampai mati, agar saya menjadi orang yang selalu memberi cahaya kebaikan dan cahaya keindahan bagi siapapun. Nama itu bagi saya adalah upaya menyemangati diri, agar tidak bosan, tidak lelah, tidak putus asa dalam melakukan kebaikan.
Namun apabila harapan tersebut belum menjadi kenyataan, yang saya perlukan adalah menambah usaha dan kesungguhan agar benar-benar bisa memenuhi harapan orang tua. Ingatkan saja saya, bahwa kondisi saya belum sesuai cita-cita yang terkandung dalam nama. Anda tidak perlu mengejek dan menghina nama saya. Tidak perlu mengejek cita-cita saya. Doakan saya agar mampu memenuhi harapan dan cita-cita yang diinginkan orang tua. Jadi, yang saya lakukan bukan mengganti nama dengan kenyataan yang sedang terjadi. Bukan mengubah cita-cita mulia yang telah dicanangkan. Namun lebih keras berusaha dan bekerja, agar bisa menggapai cita-cita.
Di antara teman saya ada yang bernama Sugiharto. Dalam bahasa Jawa, nama itu mengandung harapan agar dia “sugih” atau kaya dengan “arto” atau uang dan harta. Artinya, diharapkan kelak ia akan menjadi seseorang yang mendapatkan sukses di dunia, dengan memiliki kekayaan harta. Namun jika kondisi sekarang ternyata ia belum kaya, jangan menyalahkan orang tuanya. Jangan pula mengganti namanya dengan realitas yang ada sekarang, misalnya diganti dengan Rasido Sugiharto, yang artinya tidak jadi banyak uang. Yang dia perlukan adalah menambah usaha dan doa agar harapan memiliki banyak harta bisa tercapai.
Ada pula teman saya bernama Kuncoro, yang artinya kondang atau terkenal. Tentu diharapkan dia akan menjadi seorang yang terkenal. Namun jika ternyata sampai dia tua tidak kunjung terkenal juga, jangan menyalahkan orang tuanya. Jangan pula mengganti namanya dengan realitas yang sekarang ada, misalnya diganti dengan Rapatiyo Kuncoro, yang artinya tidak terlalu terkenal. Yang diperlukan adalah usaha dan doa yang lebih serius agar harapan menjadi orang terkenal menjadi kenyataan. Tentu terkenal dalam kebaikan, bukan terkenal karena kejahatan.
Demikian pula nama suatu wilayah, banyak yang mengandung harapan serta cita-cita mulia. Seperti nama desa Sido Makmur, yang artinya menjadi makmur. Nama itu penuh optimisme agar daerah terpencil tersebut kelak bisa menjadi makmur dan maju sebagaimana daerah lainnya. Jika ternyata sampai sekarang belum makmur, jangan diganti namanya dengan Rasido Makmur, jangan pula diganti dengan Sido Ancur. Biarlah nama itu menjadi pemacu, pengingat dan penyemangat bagi semua warga untuk bekerja lebih serius sehingga bisa mencapai harapan kemakmuran. Bahkan nama daerah yang bermakna negatif, sudah seharusnya diganti dengan yang bermakna positif. Seperti desa Suka Miskin, harus diganti dengan Suka Makmur.
Nama perusahaan juga banyak mengandung harapan. Seperti PT Bangun Jaya Mandiri, tentu memiliki harapan agar perusahaan tersebut mampu bangun, jaya dan mandiri. Atau mampu membangun kejayaan dan kemandirian. (seperti harapan seorang teman yang membuka usaha barunya dengan nama "Refah"/pen) Tentu harapan ini tidak selalu menjadi kenyataan. Seandainya kenyataan yang ada perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan, biarkan namanya tetap menjadi doa mulia, jangan diubah dengan realitas yang ada. Misalnya diganti dengan PT Bangkrut Hancur Abadi, karena tengah mengalami kebangkrutan. Jangan anda ejek cita-cita dan harapannya, jangan pula anda ejek namanya.
Nama lembaga, organisasi, atau yayasan juga memiliki harapan yang mulia. Misalnya Yayasan Harapan Umat, memiliki cita-cita agar yayasan tersebut mampu menjadi harapan umat, yang bisa membantu menyelesaikan persoalan umat. Ada pula Yayasan Bangun Projo, memiliki harapan bisa berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara. Ada Lembaga Pendidikan Lukman al Hakim, dengan harapan agar lembaga pendidikan ini mampu meneladani tokoh yang diabadikan namanya dalam kitab suci, bernama Lukman al Hakim. Ya, nama-nama itu semua memiliki sejumlah harapan dan cita-cita mulia.
Nama partai politik juga mengandung harapan dan doa. Jika ada parpol bernama Partai Anti Korupsi (PAKOR), tentu mengandung harapan dan cita-cita agar parpol tersebut mampu menciptakan kondisi pemerintahan, bangsa dan negara yang bebas dari tindak korupsi. Namun jika di antara anggota parpol tersebut ternyata ditemukan ada yang melakukan tindak pidana korupsi, yang harus dilakukan adalah memecat dan mengeluarkan anggota tersebut dari PAKOR. Jangan mengganti cita-cita mulia tersebut, jangan pula mengganti nama yang mengandung harapan mulia tersebut; misalnya diganti dengan Partai Paling Hobi Korupsi. Yang harus dilakukan oleh PAKOR adalah berjuang lebih serius dalam memberantas korupsi, termasuk di dalam tubuhnya sendiri.
Demikian pula jika ada parpol bernama Partai Bersih dan Peduli (PBDP), tentu mengandung harapan agar selalu menjaga kebersihan dalam melaksanakan semua kegiatan, dan selalu menunjukkan kepedulian terhadap problematika kehidupan masyarakat. Jika ternyata ada anggota PBDP yang terlibat kekotoran dan tidak menunjukkan kepedulian, yang harus dilakukan bukannya mengganti nama dan cita-cita. Misalnya diganti dengan Partai Jorok dan Cuek (PJDC) dengan harapan agar semua pengurus dan anggota menjadi orang yang jorok dan tidak punya kepedulian sosial. Namun yang harus dilakukan PBDB adalah usaha semakin serius untuk mewujudkan harapan tentang kebersihan dan kepedulian.
Jika ada parpol bernama Partai Semangat Dakwah (PSD), tentu diharapkan akan menjadi kekuatan yang bisa bekerja untuk menyebarkan nilai-nilai kebajikan dalam segala bidang kehidupan. Nama itu menyemangati semua pengurus dan anggota agar selalu melakukan dakwah dan berusaha menyebar kebajikan dimanapun mereka berada. Namun apabila ada anggota PSD yang terlibat dalam tindakan kejahatan, yang harus dilakukan adalah memberikan hukuman kepada anggota yang bersalah tersebut, dan meningkatkan usaha untuk selalu menyebarkan kebajikan dalam segala bidang kehidupan. Bukan mengganti cita-cita dan nama parpolnya menjadi Partai Paling Jahat (PPJ) dengan harapan dan doa agar semua pengurus dan anggota PPJ menjadi manusia yang paling jahat di muka bumi.
Jadi, nama orang, nama daerah, nama perusahaan, nama lembaga dan nama partai politik, seharusnyalah mengandung harapan dan cita-cita akan kebaikan. Memiliki makna yang positif, mengarahkan kepada perilaku mulia, dan menyemangati untuk berjuang menggapai cita-cita utama yang telah ditetapkan. Tidak layak memiliki nama yang jelek, karena tidak layak pula bagi kita memiliki cita-cita yang tercela. Semua nama dan jargon yang dimiliki manusia maupun lembaga, mengandung sejumlah doa dan cita-cita. Jangan sampai diri dan lembaga anda memiliki doa dan cita-cita yang mengarah kepada kejahatan.
Maka jangan namakan anak anda dengan nama-nama yang mengandung makna tercela, misalnya Zhalimin atau Zhulumat. Sepertinya bahasa Arab bahkan disebut dalam Al Quran, namun maknanya jelek, yaitu orang yang zalim (Zhalimin) dan kegelapan (Zhulumat). Jangan namakan anak anda dengan Suko Minto, karena artinya suka meminta. Tentu bisa bermakna negatif, kalau maksudnya adalah suka meminta-minta belas kasihan orang, alias pengemis. Tidak boleh memiliki cita-cita yang hina. Lebih bagus diberi nama Darmawan, karena mengandung harapan mulia, suka memberi dan membantu orang lain.
Jangan namakan perusahaan anda dengan CV Hancur Binasa Selamanya, karena mengandung doa yang tercela. Jangan menamakan yayasan anda dengan Yayasan Sosial Gemar Menderita, karena membawa kepada suasana yang tidak mengarahkan kepada kebaikan. Jangan namakan lembaga anda dengan Lembaga Pendidikan Berani Bodoh Asal Lulus, karena tidak membawa kepada semangat belajar. Berikan nama-nama yang mengandung cita-cita mulia, memberikan semangat melakukan perbaikan, mengarahkan kepada perbuatan utama, mendorong melakukan tindakan terpuji.
Jangan membuat parpol dengan nama Partai Menang dengan Segala Cara (PMSC), karena akan membawa nuansa menghalalkan segala cara demi mendapat kemenangan. Namun berikan nama parpol yang mengandung cita-cita dan harapan untuk perbaikan bangsa dan negara Indonesia. Jangan abaikan arti dari setiap nama, karena semua nama mengandung doa dan cita-cita. Semua nama mengandung makna yang mempengaruhi suasana jiwa pemiliknya. Maka, milikilah nama yang membawa suasana mulia, bukan suasana yang tercela.
Nah, anda tidak boleh malu kalau memiliki nama yang mengandung makna mulia. Justru harus malu kalau makna nama anda itu tercela. Anda tidak boleh malu kalau nama organisasi anda memiliki harapan kebaikan, justru anda harus malu kalau nama organisasi anda memiliki makna yang mengarah kepada keburukan. Semua nama mengandung harapan, maka berharaplah selalu dengan kabaikan dan keutamaan. Biarkan nama-nama itu menjadi penyemangat, pengingat dan nasihat agar selalu berada dalam upaya optimal menggapai cita-cita mulia.
Sebagai penguat, seringkali kita memiliki jargon, kredo atau moto. Misalnya, di website saya ini ada kredo “terus bekerja, terus berkarya, hingga akhir usia”. Kredo ini bermaksud untuk menyemangati diri saya sendiri untuk selalu bekerja, selalu berkarya, memproduksi kebaikan, berkontribusi tanpa henti, di sepanjang usia yang saya miliki. Saya tidak mau menjadi orang yang berhenti dan menepi. Saya tidak mau menjadi pengangguran dan kontraproduksi. Saya tidak mau menjadi orang yang meratapi diri dan menyesali hari.
Di websitenya tetangga, ada kredo “imposible is nothing”. Tentu kredo ini bermaksud menyemangati untuk bekerja keras tanpa henti demi meraih mimpi. Kredo ini mengandung keyakinan, semua bisa dicapai asalkan ada kesungguhan dan kegigihan, asalkan ada kemauan untuk terus mendapatkan kemenangan. Mereka tidak ingin menjadi komunitas yang bersantai-santai, yang berharap kemenangan turun dari langit begitu saja tanpa usaha. Mereka ingin menjadi komunitas yang percaya diri, yang selalu mengembangkan potensi, yang tidak pernah berhenti berinovasi, agar semua kekuatan bisa efektif tersalurkan untuk meraih tujuan. Tak ada hal yang tak mungkin, selama mau mengusahakannya dengan sungguh-sungguh.
Jika ternyata kondisi yang ada belum sesuai dengan jargon atau kredo yang diungkapkan, bukan alasan untuk menyesali kredo sendiri. Jargon dan kredo ini adalah cara menyemangati diri dan organisasi, untuk selalu melakukan kebaikan dan mengarahkan mencapai tujuan. Jargon dan kredo juga bermakna doa serta janji, untuk melakukan perbuatan yang mengarah kepada tercapainya jargon tersebut. Dengan demikian, ini adalah nasihat untuk diri sendiri dan organisasi. Jargon dan kredo adalah sarana untuk memotivasi agar tidak lemah, agar tidak lelah, agar tidak mudah frustrasi. Jargon dan kredo adalah sarana untuk selalu menang menghadapi berbagai situasi dan kondisi.
Lengkap sudah, selain nama, kita juga punya janji yang terungkap lewat jargon atau kredo yang kita canangkan. Nama kita adalah doa dan cita-cita, dikuatkan dengan jargon atau kredo yang selalu menyemangati. Semoga langkah kecil kaki kita semakin berarti, semoga semua usaha yang kita lakukan selalu mengarah kepada tercapainya harapan dan cita-cita diri dan organisasi. Semoga langkah kita semua mendapat ridha Ilahi.
Metro Lampung, 16 Mei 2011
TKP