Fenomena ‘media
massa simpatisan capres-cawapres’ turut disoroti oleh Pendiri dan Direktur Media
Watch Surabaya
Sirikit Syah. Ia menduga, fenomena ini muncul karena faktor ideologis dan
bisnis, serta didukung oleh dalang-dalang yang mencurigakan.
“Saya prihatin atas merosotnya mutu
jurnalisme dan hilangnya integritas pers sebagai lembaga independent(akibat ‘media simpatisan capres’.Red),”
ungkapnya yang tengah berada di Surabaya, Jawa Timur, kepada hidayatullah.com melalui
pesan seluler, Selasa (15/07/2014) siang.
Sirikit Syah mengatakan, sebagai
pilar keempat, pers Indonesia kini tak lagi netral. Tetapi telah berpihak,
tendensius, bias, bahkan tak malu-malu menjadi corong propaganda politik.
Padahal, menurutnya, membangun
kepercayaan publik dan reputasi terhadap sebuah media tidak mudah. Perlu waktu
lama dan biaya mahal.
Hal itu, katanya, telah dikorbankan
oleh para pemilik media demi kepentingan sesaat dan segolongan. “‘Kegilaan’
ini melanda semua media, tak hanya yang ‘abal-abal’, tapi juga justru mediamainstream,
yang pengaruhnya lebih besar pada rakyat. Saya tidak heran kalau Aburizal Bakri
dan Harry Tanoe korbankan medianya. Mereka bukan orang pers,” sebut Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) ini.
“Yang saya heran orang yang jadi
panutan kami di dunia pers selama ini: Dahlan Iskan, Surya Paloh, Jacob Oetama,
Goenawan Mohamad… Ikut-ikutan mengorbankan kredibilitas dan reputasi medianya.
Saya heran,” lanjutnya sembari menyebut nama-nama pemilik mediamainstream di Indonesia.
Dia pun mengungkap, ada dalang besar
yang kaya raya, yang sanggup menggelontorkan dana kepada media-media besar
untuk mengusung salah satu capres.
“Ambisi
berlebihan seperti ini justru patut dicurigai,” pesannya mewanti-wanti tanpa
menyebut dalang yang dimaksud.* (hidayatullah)