Kewajiban Amal Jama’i (bag.2)

Sabtu, 14 Mei 2011

Untuk hikmah yang tinggi itulah Allah menjadikan seluruh umat Islam sebagai umat dakwah. Manakala Allah swt mengutus Muhammad saw kepada umat ini dan kepada seluruh manusia, maka umatnya pun diutus untuk seluruh manusia. Oleh karena itu ketika Rustum bertanya kepada Rib’i Bin ‘Amir, “Untuk apa kamu datang kemari?” ia segera menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan orang yang mau agar keluar dari penyembahan terhadap sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”

Itu disebabkan karena Rasulullah saw mengatakan kepada kaum Muslimin, “Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.” Mereka adalah orang-orang yang menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Jadi, keikhlasan yang dimiliki oleh seorang Muslim bukanlah untuk dirinya sendiri. Meskipun tentu saja sebagai individu ia mendapatkan pahala. Keshalihan dan keikhlasan seorang Muslim yang hanya untuk dirinya saja adalah bagaikan air yang thahir (suci). Dzatnya suci tapi tidak dapat mensucikan yang lainnya. Sedangkan Islam menghendaki Muslim itu menjadi thahuur dan bukan sekadar thahiir. Supaya, selain dirinya suci, juga dapat mensucikan orang lain.

Jadi memang harus ada “batu-bata” yang shalih yang memiliki akhlak Islam. Sebab tidak akan ada kepaduan, ikatan, kecintaan, tolong-menolong, itsar (sikap mengutamakan kepentingan orang lain), dan akhlak utama lainnya – yang menunjukkan keikhlasan, dan tidak akan terwujud harmoni sosial kecuali bila ada kesatuan akhlak dan kesamaan di antara para anggota dalam hal perilaku, orientasi, dan pemahaman. Kesemua itu tidak akan terwujud kecuali dalam bingkai jamaah yang mengarahkan untuk melaksanakannya.

Orang-orang yang memahami Islam sebagai semata-mata ibadah lahiriah, yang jika mereka melaksanakan atau melihat orang melaksanakanny sudah merasa puas dan menduga bahwa itu adalah esensi Islam, tidak lebih dari itu, bagaimana ia akan merasakan wajibnya amal jama’i.

Demikian pula dengan orang-orang yang tidak memandang Islam selain sebagai akhlak mulia, spiritual yang agung, konsumsi filosofis yang merangsang akal dan ruhani serta menjauhkan keduanya dari debu-debu materi. Mereka juga tidak akan mempercayai pentingnya amal jama’i. Adapun orang-orang yang meyakini bahwa Islam adalah manhaj kehidupan, mereka itulah yang percaya wajibnya amal jama’i.

Begitulah kita memahami Islam secara sempurna lagi integral sebagai risalah tarbiyah dan manhaj kehidupan yang jauh dari kebekuan orang-orang yang beku, dari kelonggaran orang yang menghalalkan segala cara (permisivisme) dan dari keruwetan para filosof. Tidak ada sikap ekstrem dan tidak sikap abai, dengan tetap memegang teguh Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya serta sirah salafus-shalih. Dengan hati yang jujur, orang-orang mukmin akan menyerap dari Al Quran dan Sunah itu Islam sebagai akidah, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, akhlak, materi, toleransi, kekuatan, tsaqafah, dan perundang-undangan.

“Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)
Untuk pemahaman itu kita ikhlas. Islam – sebagaiman kita pahami – adalah agama jamaah, yang mendidik setiap individu untuk menjadi mushlih’ dan bukan sekadar shalih (shalih).

“Dan sekali-kali Rabbmu tidak akan menghancurkan negeri-negeri secara zalim padahal penduduknya melakukan perbaikan.” (Qs. Huud, 11: 117

“Dan Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang melakukan perbaikan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 220)
Orang yang shalih – dalam pemahaman kita terhadap Islam – adalah termasuk kontributor dalam kemungkaran jika ia diam. Lalu manfaa t apa yang bisa dirasakan oleh masyarakat dengan keshalihannya bila ia tidak turut membantu saudaranya untuk mewujudkan masyarakat yang baik. Sesungguhnya orang yang tidak mengatakan kebenaran adalah syaitan bisu.

Allah swt mengingatkan:
“Dan takutlah kalian akan sebuah bencana yang akan menimpa bukan banyak orang-orang yang zalim di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah amat dahsyat sikasaan-Nya.” (Qs. Al Anfaal, 8: 25)

Karenanya, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “Akankah kita dibinasakan padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah saw menjawab, “Jika keburukan itu telah menjadi dominan.”

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika kesalahan tersembunyi, maka ia tidak akan membahayakan selain pelakunya. Tapi, jika kesalahan telah merajalela dan tidak diberantas, maka itu akan membahayakan orang banyak.” (HR. At-Tirmidzi)

Amal jama’i yang sistemik bertumpu pada 3 (tiga) hal:
• Pimpinan yang ikhlas (qiyadah).
• Basis, yakni individu-individu yang satu sama lainnya berpadu secara ikhlas (jamaah).
• Minhaj dengan pemahaman yang gamblang (dakwah).

Hubungan di antara ketiganya dibangun berlandaskan atas syura (musyawarah) yang wajib dan mengikat, taat yang disertai pemahaman, ikhlas kepada Allah dalam menjalankan apa yang dipahami dan dalam ber-harakah. Jika keikhlasan hilang dari mereka, maka mereka tak ubahnya bagaikan perhimpunan lainnya yang hanya terbentuk di atas asas kepentingan pribadi dan bukan lagi merupakan jamaah dengan segala tonggak, karakteristik, tujuan-tujuan, dan sarana-sarananya. Bukan lagi jamaah yang dapat memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah.

Dan ia bukan lagi merupakan jamaah yang dapat mewujudkan superioritas dalam hidup, dan membimbing manusia ke jalan yang benar, sebagaimana yang Allah firmankan:
“Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)

Anda dapat bayangkan sebuah jamaah yang memiliki ciri-ciri seperti itu dan mewujudkan apa-apa yang disebutkan di atas itu. Jamaah yang menyadari besarnya risalah yang dihasungnya dan percaya penuh akan
pertolongan Allah. Tidak diragukan bahwa para anggota jamaah itu akan dipersatukan hatinya oleh Allah.

“Dan Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al Anfaal, 8: 63)

Dan kemenangan yang Allah janjikan akan mereka raih:
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih bahwa Dia akan mengangkat mereka sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana Dia telah mengangkat orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah dan pasti Dia akan kokohkan hagi mereka agama mereka yang Dia ridhai dan Dia akan menggantikan untuk mereka rasa takut menjadi rasa aman, mereka beribadah kepada-Ku dengan tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (Qs. An-Nuur, 24: 55)

Maka dari itu kaum Muslimin setelah Rasulullah saw wafat bersepakat untuk mencari siapa yang akan menggantikan beliau guna menjaga agama ini, melangsungkan dakwah, memelihara keamanan, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

‘Ali Bin Abi Thalib – semoga Allah meridhainya – mengatakan, “Manusia harus mempunyai imarah (kepemimpinan) yang shalih maupun durhaka.” Seseorang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, kalau pimpinan yang shalih kami mengerti, tapi bagaimana dengan pimpinan yang durhaka?” Ia menjawab, “Dengan imarah itu hukum pidana ditegakkan, jalan diamankan, musuh dilawan, dan harta rampasan perang dibagikan.”

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mengangkat imam telah diketahui kewajibannya dalam syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in dan tidak ada seorang pun yang berpandangan berbeda dari itu. Sedangkan Imam Juwaini mengatakan bahwa pengangkatan imam berpijak di atas landasan ijma‘ yang kokoh. Imam As-Sihristani mengatakan bahwa Abu Bakar Shiddiq, setelah khutbah di Saqifah Bani Sa’idah, mengatakan, “Harus ada orang yang menegakkan agama ini.” Maka orang-orang berteriak dari berbagai sudut, “Anda benar wahai Abu Bakar.”

Hal seperti itu disampaikan pula oleh Imam Al Mawardi.
“Imamah ditegakkan untuk menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia.” Benarlah perkataan seorang ulama, “Agama itu pangkal dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak punya pangkal maka akan hancurlah ia. Dan apa-apa yang tidak mempunyai penjaga maka ia akan lenyap.”

Nah, untuk mewujudkan tujuan yang ingin kita capai itu, maka kita harus menentukan tujuan yang harus dicapai oleh jamaah, yakni: individu Muslim, keluarga Muslim, masyarakat islami. Karenanya, jamaah yang menyerukan pada pemahaman seperti disebutkan di atas itu, dengan langkah-langkah ta’rif (memberikan pemahaman), takwin (pembentukan), dan tanfidz (aplikasi), dialah jamaah yang menjalankan kewajiban. Sebab, sesuatu yang membuat kewajiban menjadi tidak sempurna bila ia tidak ada, maka “si suatu” itu hukumnya wajib.

Tiada Islam tanpa jamaah. Tidak ada jamaah tanpa imarah (kepemimpinan). Dan tidak ada imarah tanpa ketaatan. Sebab, Islam adalah sistern dan ketaatan. Dalil yang paling kuat untuk itu adalah adanya seruan yang bersifat jama’i dalam Al Quran, “Wahai orang-orang yang beriman.” Dan bahkan awal surat Al Baqarah menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan petunjuk adalah al muttaqin (dalam bentuk jamak: orang-orang yang bertakwa) bukan al muttaqi (dalam bentuk tunggal: seorang yang bertakwa).

“Itulah kitab (Al Quran), merupakan petunjuk hagi orang-orang yang bertakwa.” Kemudian Allah swt menyebutkan sifat-sifat mereka, “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” Semua itu menunjukkan sifat kolektif, seperti yang Anda lihat. Bahkan Allah swt mengingatkan kita tentang nilai kebersamaan itu dengan ungkapan yang kita ulang-ulang setiap shalat, “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan banya kepada Engkau kami mohon pertolongan.” Di situ digambarkan beribadah dan mohon pertolongan dalam kebersamaan.

Itu semua logis belaka, sebab ibadah dengan maknanya yang utuh tidak akan terwujud melainkan dengan secara bersama-sama beribadah dan memohon pertolongan. Bahkan,.hidayah itu sendiri tidak akan sempurna tanpa jamaah. Karenanya kita mengatakan, “Berilah kami petunjuk” dan bukannya “Berilah aku petunjuk”. Sebab memang hidayah yang sejati dan sempurna yang diberikan Al Quran hanya akan terwujud dengan jamaah. Itulah sebabnya, kabar gembira juga berlaku untuk orang-orang mukmin dalam kebersamaannya dan bukan dalam kesediriannya.

Sebenarnya, ketika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama jamaah, maka pemahaman itu sendiri adalah bagian dari agama. Dan seharusnya pemahaman itu menjadi salah satu tsawabit jamaah manapun yang menyerukan kepada Islam.
Pemahaman bahwa Islam adalah agama jamaah itu sendiri merupakan tsawabit Islam. Persepsi itu menyerukan untuk mempraktikkan tatanan dalam jumlah sekecil apa pun, sekalipun ia berada dalam perjalanan (safar).

Jika ia melakukan perjalanan sendirian maka temannya adalah syaitan. Dan jika jumlahnya lebih dari satu, meskipun hanya tiga orang, maka wajib diangkat seorang pemimpin dari dan untuk mereka. “Jika kalian bertiga maka angkatlah salah seorang di antara kalian sebagai amir.” (Hadits Hasan riwayat Abu Dawud). Apatah lagi dengan orang yang ingin menghidupkan umat, dan membuat sebuah peradaban. Bukankah ini lebih membutuhkan penataan yang akurat dan amir jamaah yang ditaati?

Tidak diragukan lagi bahwa bila keimanan para anggota kuat, maka akan kuat pula jamaah itu dan akan mampu mencapai apa yang dicita-citakan. Sebaliknya, bila keimanan para anggotanya lemah, barisan akan bercerai-berai. Sebab, lemahnya iman akan mengakibatkan kerancuan konsep, dan munculnya kecenderungan hati terhadap kepentingan duniawi. Di antara kecenderungan duniawi yang dapat menghambat perjalanan jamaah adalah harta, anak, istri, senang bersantai-santai, putus asa, takut, loyo, semangat yang berlebihan, dan tidak adanya loyalitas.

Nah, sudah jelas bagi kita bahwa amal jama’i adalah wajib bagi kaum Muslimin. Jika demikian, maka sarana yang dapat mengantarkan pada terlaksananya kewajiban itu adalah wajib. Karenanya, propaganda yang menyerukan tidak pentingnya amal jama’i adalah propaganda untuk melemahkan dan memecah belah kaum Muslimin. Padahal, zaman sekarang ini masanya orang membuat perkumpulan, atau koalisi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Maka, apatah lagi Islam yang memandang jamaah sebagai keimanan dan perpecahan adalah kekafiran.

Nilai jamaah pada jiwa seseorang tidak akan sempurna kecuali terwujud lima hal:
• Bangga dengan her-intima (afiliasi) dengan jamaah itu.
• Merasa tenteram dengan keberadaan dirinya di dalam jamaah itu.
• Jamaah itu mewujudkan atau akan mewujudkan segala cita-cita keislamannya.
• Setiap anggota pada jamaah tersebut berkontribusi kepada jamaahnya dan jamaah pun membantunya; ia menopang jamaah tersebut dan jamaah pun mendukungnya.
• Seseorang menjadi berarti dengan jamaah dan bukan dengan yang lainnya, sedangkan jamaah itu walaupun tidak ditegakkan oleh dia pasti ditegakkan oleh orang lain.

Firman Allah swt:
“Dan jika kalian berpaling maka niscaya Allah akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu.” (Qs. Muhammad, 47: 38)

“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya maka niscaya Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka (pun) mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalari Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui’.”
(Qs. Al Maaidah, 5: 54)

Itulah perbedaan antara perhimpunan yang tidak ada ikatan dan tidak punya manhaj dengan jamaah yang diikat oleh nurani, perasaan, kecintaan, aturan, tujuan, sarana, pemimpin, prajurit yang tujuannya adalah Allah. Dan untuk itulah digulirkan gerakan perbaikan setiap individu agar menjadi takwa, pembentukan keluarga agar menjadi keluarga islami, dan pengarahan terhadap masyarakat agar di dalamnya tersebar nilai-nilai, prinsip-prinsip, akhlak, dan syi’ar-syi’ar Islam, dalam setiap sudut kehidupan.

Sebelumnya

Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.