Keikhlasan hati, kebersihan hati nurani, kesucian jiwa, ketulusan kata-kata, dan amanah dalam menunaikan tugas, semuanya itu merupakan akhlak mulia. Untuk menyempunakan akhlak itulah Rasulullah saw diutus agar setiap orang menjadi batu bata bagi pembangunan masyarakat yang baik.
Sepanjang masa, pada setiap umat, pasti selalu ada orang-orang shalih, para hamba yang zuhud, atau para da’i yang ikhlas. Bahkan pada bangsa seburuk apa pun, tidak mungkin kosong dari orang-orang yang apabila disebut nama Allah begetarlah hatinya, mengenal Allah dan memiliki akhlak terpuji.
Namun, dinamika sejarah dan pertumbuhan peradaban bukanlah ditinjau dari semata-mata keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki akhlak seperti itu, betapapun tinggi keshalihan, ketakwaan, dan pemahaman mereka terhadap berbagai persoalan.
Yang menjadi ukuran justru adanya harakah jama’iyyah (gerakan kolektif) dan keshalihan yang bersifat masif sehingga menjadi arus kuat lagi tangguh yang mempunyai pengaruh terhadap arus-arus lainnya dan bukannya terpengaruh.
Tidak ada maksud meremehkan arti amal fardi (kerja personal) dengan segala sifat terpuji yang dimilikinya. Namun, sesuai dengan kebenaran yang kita anut, adalah termasuk orang yang merugi jika seseorang yang ikhlas tidak berusaha untuk mengubah dakwahnya menjadi arus massal yang dihasung oleh orang-orang shalih seperti dirinya, yang berpegang teguh kepada tali Allah sehingga menjadi bagaikan satu hati, dalam satu jamaah.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia ifu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”(QS. Al Ashr, 103: 1-3) Nah, yang dikecualikan dari kerugian adalah jamaah yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, dan bukannya individu, betapapun shalihnya.
Jika ada orang yang mengatakan, “Saya bisa memberlakukan Islam untuk diri saya. Saya tidak melakukan kezaliman, tidak berzina, tidak mabuk, tidak melakukan praktik riba, saya mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, melaksanakan haji, menunaikan segala kewajibanku yang bersifat personal, dan saya menyeru orang lain kepada hal-hal itu, dan kemudian saya berlalu.”
Kita katakan, “Itu bagus. Akan tetapi, orang yang melakukan hal itu persis seperti orang memilih batu-bata dengan sangat pandai, kemudian meningkatkan kualitasnya dengan dimulai dari diri sendiri, seraya mengajak orang lain untuk hal itu. Akankah kita menyebut batu-bata yang berserakan itu, betapapun masing-masingnya memiliki kualitas yang baik untuk sebuah bangunan, sebagai gedung bertingkat atau gedung pencakar langit, jika tidak pernah ditata dan satu sama lain saling menguatkan?”
Begitulah kondisi dakwah secara personal. Lalu bagaimana kita bisa mengaplikasikan sistern politik, sistern ekonomi, sistern sosial, sistern pendidikan, dan siapa yang menegakkan sanksi? Siapa yang menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman? Siapa yang menegakkan hukum halal dan haram’? Siapa yang mengatur urusan sarana usaha? Siapa yang memimpin umat, menyebarkan dakwah, dan menghadapi serangan musuh? Dan seterusnya.
Jika kaum Muslimin tidak berusaha untuk mewujudkan itu semua dalam kehidupan nyata mereka dan merasa cukup dengan ibadah-ibadah ritual belaka, maka mereka akan terjerembab ke dalam perbenturan keyakinan, padahal mereka mendengar firman Allah:
“Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan menolak sebagian lain? Maka tiada balasan hagi orang yang melakukan hal itu selain kehinaan di dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dicampakkan ke dalam siksa yang amat dahsyat. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 85)
Mereka juga mendengar peringatan Allah dalam AlQuran terhadap Rasulullah saw:
“Dan hati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu.” (Qs. Al Maaidah, 5: 49)
Jadi tidaklah cukup adanya individu-individu yang ikhlas dan tulus di
Firman Allah:
“Maka barang siapa melakukan kebaikan meskipun sebesar biji sawi maka ia akan melihatnya.” (Qs. Al Zalzalah, 99: 7)
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi meskipun banya sebesar biji sawi.” (Qs. An-Nisaa’, 4: 40)
Akan tetapi, amal fardi, pada realitas umat kontemporer, tidak cukup kuat untuk mengisi pos-pos kosong dan mewujudkan tujuan yang dicita-citakan. Harus ada amal jama’i (kerja kolektif). Dan ini merupakan tuntutan agama sekaligus tuntutan realitas.
Islam Menyeru kepada Jamaah
Islam menyerukan berjamaah dan membenci kesendirian: tangan Al-lah bersama jamaah; barang siapa yang nyeleneh, maka ia akan nyeleneh pula di dalam neraka; serigala hanya akan menerkam kambing yang menyendiri; tidak sah shalat sendirian di belakang atau di depan shaf; orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan; tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa merupakan salah satu kewajiban dalam Islam; dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah salah satu syarat untuk selamat dari kerugian di dunia dan akhirat.
Realitas kehidupan menegaskan bahwa kerja yang produktif adalah yang dilakukan secara jama’i (kolektif).
Lihat saja, tangan sebelah tidak dapat bertepuk tangan. Dan seseorang adalah sedikit dengan dirinya sendiri tapi menjadi banyak bersama kawan-kawannya, lemah bila sendirian dan kuat dengan jamaahnya. Kerja-kerja besar tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan tenaga besar. Dan pertarungan sengit tidak dimenangkan kecuali dengan bergandeng tangan dan saling topang kekuatan, sebagaimana firman Allah swt:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan berbaris bagaikan bangunan yang kokoh.” (Qs. As-Shaff, 61: 4)
Ayat itu menegaskan bahwa kekuatan yang memusuhi Islam dan umatnya tidaklah bekerja secara personal dan bukan pula kelompok-kelompok yang tercecer. Mereka bekerja dalam sebuah sistern dengan disiplin tinggi. Mereka mempunyai struktur organisasi, pemimpin lokal dan pemimpin intenasional. Karenanya, kita wajib memerangi mereka dengan cara seperti mereka memerangi kita. Kita tidak boleh melawan meriam dengan tongkat, panser dengan kuda atau keledai. Sebagaimana tidak bolehnya kita menghadapi amal jama’i musuh dengan amal fardi dan kerja yang sistemik dengan kerja serabutan. Sebab, kekacauan tidak akan mungkin mengalahkan sistern. Individu tidak akan mengalahkan jamaah. Dan kerikil tidak akan mengalahkan gunung.
Al Quran mengingatkan kita dengan ayatnya:
“Dan orang-orang kafir sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian lain. Jika kalian tidak melakukan hal seperti itu (dalam kebersamaan) maka akan terjadilah mala petaka di muka bumi dan kerusakan yang yang dahsyat.” (Qs. Al Anfaal, 8: 73)
Makna “illaa taf’aluuhu” dalam ayat di atas adalah, jika sebagian kalian tidak membantu dan menopang sebagian lain, maka akan terjadi bencana dan kerusakan yang lebih besar dari sekadar berhimpunnya kekuatan kafir dan bercerai berainya kekuatan Islam. Kebatilan merajalela dan kebenaran hancur lebur. Dan itulah bahaya besar dan kejahatan yang tengah mengancam.
Amal Jama’i yang Sistemik
Amal jama’i haruslah sistemik, berpijak di atas qiyadah (kepemimpinan) yang bertanggung jawab, basis yang kokoh, persepsi yang jelas, yang mengatur hubungan antara qiyadah dengan prajurit (junud) atas dasar syura (musyawarah) yang mengikat, dan ketaatan yang penuh kesadaran serta pemahaman.
Islam tidak mengenal jamaah yang tanpa sistern. Sampai-sampai jamaah kecil dalam shalat saja diatur oleh sebuah sistern. Misalnya bahwa Allah tidak akan melihat kepada shaf (barisan) yang bengkok; shaf harus rapat, tidak boleh membiarkan ada celah di dalam shaf, sebab setiap celah akan diisi oleh syaitan; bahu seseorang berdekatan dengan bahu saudaranya, kaki dengan kaki; sama dalam gerakan dan penampilan. Seperti kesamaan dalam akidah dan orientasi.
Imam harus meluruskan shaf dibelakangnya sampai rapat dan bersambung. la harus menasihati para makmum untuk melunakkan tangan-tangan terhadap saudaranya. Jadi, jamaah membutuhkan kadar tertentu kelembutan dan fleksibilitas agar terjadi harmoni dalam barisan.
Setelah itu, wajib taat kepada imam. “Imam itu diangkat tidak lain kecuali untuk ditaati. Apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian. Apabila ia rukuk, maka rukuklah kalian. Apabila ia sujud, maka sujudlah kalian. Dan apabila ia membaca maka dengarkanlah.”
Tidak sah bila seseorang melenceng dari shaf dan mendahului imam. Misalnya dengan rukuk sebelum imam rukuk, atau sujud sebelum imam sujud. Kemudian membuat penyimpangan dalam bangunan yang tertata itu. Siapa yang melakukan hal itu, maka dikhawatirkan akan Allah ganti kepalanya dengan kepala keledai.
Akan tetapi, jika si imam itu salah, maka kewajiban para makmum adalah mengingatkan dan mengoreksi kesalahannya. Baik karena keliru maupun karena lupa. Baik kekeliruan itu terjadi dalam ucapan atau perbuatan; baik pada bacaan atau pada rukun shalat lainnya. Sampai-sampai kaum perempuan yang berada pada shaf yang jauh saja pun dianjurkan untuk bertepuk tangan untuk mengingatkan imam yang keliru itu.
Itulah miniatur sistern jamaah islamiyyah. Dan begitulah seharusnya hubungan antara pimpinan dengan prajurit. Pemimpin bukanlah orang yang terpelihara dari kesalahan. Makanya tidak boleh taat secara buta. Begitulah pemahaman kita tentang Islam. Dan untuk menegakkan pemahaman itu harus ada amal jama’i yang sistemik.
Perhatian Islam terhadap seseorang secara personal tidak lain adalah dalam rangka mencetaknya menjadi batu-bata jamaah yang berkualitas tinggi, yang akan mampu mengemban segala beban dakwah, berjihad untuk membelanya.
Oleh karena itu, seluruh ibadah dalam Islam bersifat kolektif atau paling tidak menyerukan kepada jamaah. Shalat berjamaah misalnya, lebih utama 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian. Shalat Jumat tidak sah kecuali bila dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula Shalat ‘Idain, bahkan sampai-sampai qiyamur-ramadhan pun dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah.
Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir. Sehingga terjalinlah antara mereka kasih-sayang dan hilanglah kedengkian serta sikap mementingkan diri sendiri. Dan itu pun mendukung terbentuknya jamaah.
Puasa juga mendorong orang-orang kaya untuk mengasihi orang-orang miskin. Maka terwujudlah persatuan dan saling mencintai. Haji pun merupakan kewajiban yang dilaksanakan secara jama’i. Semua orang yang sedang melaksanakannya sama dalam hal pakaian dan perbuatan. Mereka sama-sama meninggalkan dunia dan menghadap kepada Allah. Lalu hati mereka menjadi berpadu, perasaan mereka menyatu, dan ikatan ukhuwah semakin kuat. Maka menjadi kuatlah ikatan jamaah.
Demikian pula jihad harus dilakukan oleh kaum Muslimin secara bershaf bagaikan bangunan yang kokoh. Maka Allah meridhai mereka dan mereka juga ridha kepada Allah. Jadi, seluruh ibadah mendukung terwujudnya jamaah dan mengokohkan ikatan di antara para anggotanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhumya.
Kesempurnaan Ikhlas dengan Jamaah
Amal jama’i adalah pesan Rasulullah kepada kaum Muslimin. Sabdanya:
“Tangan Allah beserta jamaah dan siapa yang menyendiri, menyendiri pula di dalam neraka.” (At-Tirmidzi)
Sabdanya pula:
“Kalian harus berjamaah. Sebab serigala banya akan memangsa kambing yang menyendiri.” (HR. Ahmad)
“Siapa yang menginginkan naungan surga maka hendaklah ia berpegang teguh dengan jamaah.” (At-Tirmidzi)
Tentang jamaah, ‘Abdullah Bin Mas’ud mengatakan,
“Ia adalah tali Allah yang kuat yang Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan apa yang kalian tidak sukai dalam jamaah dan ketaatan adalah lebih baik dari apa yang kamu sukai dalam perpecahan.”’
‘Ali Bin Abi Thalib mengatakan, “Kekeruhan dalam jamaah lebih haik dari pada kebeningan dalam kesendirian.”
Jamaah – seperti sudah dijelaskan – yang terdiri dari anggota, pemimpin, dan manhaj menumbuhkan umat yang memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dan kemenangan jamaah adalah merupakan janji Allah yang pasti terjadi.
“Dan sesungguhnya tentara Kami, mereka itulah yang akan menang.” (Qs. Ash-Shaffaat, 37: 173)
“Dan siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya kelompok (pendukung) Allah itulah yang akan menang.” (Qs. Al Maaidah, 5: 56)
Islam adalah agama yang harus dilaksanakan oleh individu-individu. Dari situ kemudian mereka membentuk jamaah yang bergerak bersama pemimpin yang menjadi pelopor dalam mengemban tugas, dan bertekad untuk bekerja secara ikhlas tanpa henti siang dan malam. Sebagaimana yang dikatakan Umar Bin Khaththab kepada Mu’awiyah Bin Khadij yang mengunjunginya guna menyampaikan berita gembira tentang penaklukan
Iskandariyyah, “Jika aku tidur di siang hari berarti aku menelantarkan rakyat. Dan jika aku tidur di malam hari berarti aku menelantarkan diriku. Lalu bagaimana pula jika aku tidur di kedua waktu itu, wahai Mu’awiyah?”‘
Islam adalah agama yang yang dianut oleh segala usia dan kalangan. Orang dewasa tetap memegang teguh Islam hingga meninggal dunia. Anak kecil terus teguh hingga ia menjadi tua. Orang non-Arab menjadi fasih dengan Islam. Dan orang Arab berhijrah dengan dorongan agama itu pula. Mereka yakin tidak ada kebenaran selain Islam. Dia bukanlah agama yang hanya bisa sebatas mengatakan kepada orang yang melakukan kesalahan, “Jangan kamu lakukan kesalahan.”
Lebih dari itu, Islam mempersiapkan bagi orang yang melakukan kesalahan sebuah masyarakat dan jalan untuk membantunya memperbaiki diri dan tolong menolong dalam kebaikan serta ketakwaan. Agar kata-kata mewujud menjadi perbuatan dan teori berubah menjadi aplikasi. Adakah hal itu bisa terwujud oleh seseorang – betapapun ia ikhlas dalam ibadah – ataukah harus dengan jamaah yang kokoh dan kuat?
Nah, bangunan jamaah itu tidak akan sempurna tanpa adanya ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), dan takaful (solidaritas) yang mengaplikasikan tolong-menolong yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan jamaah yang luhur dengan semangat ukhuwah dan tekad baja.