Beda Umar Beda Utsman

Minggu, 07 Agustus 2011

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta. Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela.  Sang pemilik,’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan.  
Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya, “Masya Allah” 'Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”  Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.  ”Ya Amirul Mukminin!” teriak 'Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya, “Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”. Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras. 
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman. 'Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.  “Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”. ”Tidak!", balas 'Umar, "Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”. “Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.” “Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”  Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya.  Dia bersandar dibaliknya & bergumam,”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.” 
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki. 'Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin.  Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.  ‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. 'Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya.   Andai 'Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar. 
Itulah 'Umar. Dan inilah 'Utsman. Mereka berbeda.  Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya.  Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.  “Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas. "Aku menghitung tambalan di surban dan jubah 'Utsman", lanjut Anas, "Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan." 
Kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan dan berbeda-beda. Maka tindak utama yang selaiknya kita miliki ialah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau pakaian milik tokoh lain lagi. Tiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan dengan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, 'Umar, "Utsman atau 'Ali. Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa'd ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, mari fahami dalam-dalam setiap pribadi. Selebihnya, jadikanlah diri kita sendiri sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana mereka, dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti. Sebab, teladan yang masih menuntut sesama untuk juga jadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri.
Teladan sejati memahami; bahwa masing-masing hati ada kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya, & masing-masing kaki punya sepatunya.  Hanya teladan yang tak bersyarat dan sunyi yang akan membawa damai. Dalam damai pula, keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.  Demikian lanjut berbagi Dalam Dekapan Ukhuwah.

Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.