Kultwit #Adilkah (Catatan Penegakan Hukum di Indonesia)

Rabu, 07 September 2011





Pada kesempatan ini saya membuat beberapa catatan penegakan hukum di Indonesia dalam hastag #AdilKah.
Ketua MK harus datang ke Mabes untuk perbaikan laporan sedangkan Mabes kirim penyidik ke Blitar untuk periksa ketua partai. Padahal Ketua MK lapor pemalsuan dokumen Negara, sedang di Blitar periksa pencemaran nama baik.
Zainal Arifin Husein menjadi tersangka pemalsuan surat MK, padahal dia pelapor dan tandatangannya yang dipalsukan. Dia menjadi tersangka atas laporannya dan atas pemalsuan tandatangannya.
Pada kasus century Robert Tantular, Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizfi adalah pemilik Bank Century. Namun mereka diperlakukan beda, berkas Robert dipisah dan hanya dituntut dengan UU Perbankan. Robert divonis MA dengan penjara 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider kurungan 8 bulan. Sedang Hesham dan Rafat diganjar hukuman penjara 15 tahun penjara dan ganti rugi Rp 3,115 triliun.
Beberapa waktu kemarin Prof @JimlyAs (Jimly Asshiddqie) mengatakan bahwa Antasari Azhar adalah korban peradilan sesat. Antasari disidangkan dengan mengabaikan bukti-bukti yang ada. Baju dan mobil sebagai barang bukti tidak dihadirkan dalam persidangan. Pistol yang dihadirkan di persidanganpun macet. Keterangan dari ahli forensik sepertinya tidak dipertimbangkan. Ahli forensik menyampaikan telah ada manipulasi jasad korban. Menurut jaksa Nasrudin di bunuh dari jarak jauh, padahal Ahli forensic bilang Nasrudin dibunuh jarak dekat. SMS yang dianggap ancamanpun tidak pernah dibuka di persidangan.

Terdapat beberapa catatan peradilan sesat di Indonesia:  
a.         Sengkon dan Karta
Pada 1974 pernah terjadi kasus yang menimpa Sengkon dan Karta, masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara. Keduanya dituduh merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Akhirnya seorang napi bernama Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel diadili, terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara, Albert Hasibuan seorang anggota DPR dan pengacara tersentuh hatinya dan mengusahakan pembebasan Sengkon dan Karta. Sengkon dan Karta mengalami penderitaan luar biasa. Menurut pengakuan, mereka dipukuli aparat. Lebih tersiksa lagi Sengkon terserang TBC di penjara Cipinang. Kemudian tewas kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara, sedangkan Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.  
b.         Cerita lain tentang Risman dan Rostin,
Suami-istri tersebut divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tilamuta. Mereka dituduh membunuh anak gadisnya sendiri, bernama Alta Lakoro. Tetapi, pada Rabu 26 Juni 2007, Alta yang menjadi korban dalam "pembunuhan palsu" tersebut datang ke kampung halamannya. Risman mengungkapkan bahwa keduanya dipaksa untuk mengakui penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap anaknya. Mereka disiksa sampai meninggalkan cacat di tubuh. Vonis terhadap Risman-Rostin, dinilai cacat hukum karena hanya memenuhi satu unsur barang bukti, yakni pengakuan terdakwa. Dalam kasus ini pengakuan terdakwa menjadi satu-satunya bukti. Itu pun pengakuan yang terpaksa dari terdakwa. Sementara kerangka yang diduga Alta tidak masuk dalam kategori barang bukti karena tidak melalui proses visum et repertum.
c.         Cerita lain adalah tentang Budi Harjono
Pria kelahiran 1980 adalah korban salah tangkap, rekayasa, dan manipulasi penyidikan polisi. Ia dipenjara, dianiaya, dan dipaksa oleh penyidik satuan reserse Polsek Pondok Gede dan Polres Metro Bekasi. Budi disuruh mengakui membunuh Ali Harta Winata (ayahnya) serta menganiaya Sri Eni (ibunya). Polisi tetap membuat alur cerita tersendiri, walaupun ibunya yang menjadi korban telah memberikan kesaksian bahwa pelaku pembunuhan dan penganiayaan adalah Marsin, mantan pekerja toko materialnya. Karena sejak kejadian pun menurut Budi, mereka sudah menyebut nama Marsin, tapi penyidik tidak mempercayainya. Budi selama sembilan hari sembilan malam diperiksa dan mengikuti rekayasa polisi. Dia dipukuli dan kedua kakinya diinjak dengan kursi. Mereka mengancam, kalau tidak mau mengikuti kemauan polisi, ibunya dilarang dioperasi di rumah sakit. Padahal waktu itu sudah mau Lebaran dan dokter di RSPAD Gatot Subroto memberikan waktu 3 hari untuk melakukan operasi. Sebelum terjadi radang otak yang dapat mengakibatkan kematian atau gangguan otak. Budi akhirnya terpaksa mengakui bahwa dirinya sebagai pelaku untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Selain itu, Sri Eni dan Ningsih juga dipaksa mendukung skenario penyidikan polisi. Bahkan Sri Eni selama menjalani pemeriksaan dikurung di Polres Bekasi dan dipersulit mengambil uang untuk biaya operasi. Waktu itu Eni disuruh bilang saya berantem sama suaminya. Kalau tidak bilang begitu, kedua anaknya mau dibunuh. Polisi kemudian menetapkan Budi sebagai tersangka setelah menyodorkan uang Rp 50 ribu kepada Ningsih agar bersedia menjadi saksi. Dia disuruh cerita melihat Budi menyeret jasad Ali ke dalam kamar mandi dan menganiaya ibunya. Proses hukum terus berlanjut. Pada 14 Agustus 2003 Budi divonis bebas murni oleh hakim setelah dipenjara selama enam bulan. Hakim melihat keganjilan dan kurangnya bukti utk membuktikan Budi pelaku pembunuhan dan penganiayaan seperti yang dituduhkan. Akhir Juli 2006 petugas dari Unit 2 Polda Metro Jaya mendatangi Budi dan memberitahukan bahwa Marsin berhasil ditangkap di Cilacap. Marsin mengakui semua perbuatan yang telah dilakukan terhadap keluarga Ali
d.        Cerita lain adalah tentang Iwan Setiawan (44), warga Pasirkaliki Timur, Kota Bandung.
Iwan didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Ny Shi Geko Munetsuna, 31 Juli 2006. Iwan mengaku dipukul sebanyak dua kali oleh polisi agar mengakui perbuatannya namun ia bertahan tidak mengaku. Polisi menyatakan bukti darah di celananya adalah bekas membunuh padahal darah itu berasal dari noda darah kaki. PN Bandung memutuskan vonis hukuman penjara seumur hidup dan dikuatkan PT dengan hukuman yang sama namun diputus bebas oleh MA
e.         Selanjutnya adalah cerita tentang Asun
Polisi dan jaksa menjerat A Sun dan keluarganya sebagai terdakwa pembunuh Bun Lie Ngo. Menurut jaksa di persidangan PN Singkawang, ketiganya dituduh secara bersama-sama membunuh korban pada April 1995. Korban dibacok oleh ketiga terdakwa, karena Fu Jan Lie cemburu melihat suaminya berselingkuh dengan korban. Sejak itu Fu Jan Lie dendam. Ia bersama suami dan anaknya kemudian sepakat untuk menghabisi korban. A Sun lantas dihukum 8 tahun penjara, sedangkan istri dan anaknya masing-masing 10 tahun penjara. Hukuman ini diperkuat pengadilan tinggi, bahkan kemudian mengatrol hukuman A Sun menjadi 10 tahun penjara.
Di mata Pengacara Jhon Pasulu, A Sun telah menjadi korban peradilan sesat. Maka dia mengajukan kasasi. Rupanya Mahkamah Agung berdiri di belakang A Sun. Menurut MA, pengadilan di bawahnya itu hanya memeriksa berdasarkan pengakuan di BAP, tanpa didukung dengan alat bukti yang sah. Padahal BAP tersebut telah dicabut oleh terdakwa di persidangan. Jadi keterangan terdakwa di persidangan dan bukti yang sah itulah yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan. Ternyata, menurut majelis hakim agung, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri cuma mengadili berdasarkan BAP. Lebih dari itu, menurut majelis, visum et repertum yang diajukan dalam persidangan belum bisa menyebutkan penyebab kematian korban. Artinya, pengadilan tinggi dan pengadilan negeri melanggar batas minimal pembuktian sebagaimana dalam KUHAP.
f.           Cerita lain adalah terpidana salah tangkap Imam Khambali alias Kemat, dan Devid Eko Priyanto, dari Jombang.
Mereka dituduh melakukan pembunuhan atas mayat dikebun tebu, bernama Asrori. Mereka mengaku sebagai pembunuh Asrori karena siksaan polisi. Kebenaran baru terungkap ketika penyidikan kasus jagal pembunuh 11 orang asal Jombang Feri Idham Henyansyah. Kemudian, surat kematian dari Polda Jatim menyebut mayat di kebun tebu adalah jenazah Fausin Suyanto alias Antonius. Juga pernyataan Mabes Polri yang menyebut hasil DNA mayat di kebun tebu adalah Fausin Suyanto, bukan Asrori. Polri menyebut mayat Asrori, berdasarkan uji DNA, ditemukan di belakang rumah Feri Idham Henyansah alias Ryan. Ryan juga mengaku dialah yang membunuh Asrori.
Semoga menjadi bahan renungan untuk penegakan hukum di Indonesia
Kultwit : @aboebakar15
Layout : PKSumbersuko


Share this Article on :
 

© Copyright DPC PKS Sumbersuko Lumajang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.