Pada
kesempatan ini saya membuat beberapa catatan penegakan hukum di Indonesia dalam
hastag #AdilKah.
Zainal
Arifin Husein menjadi tersangka pemalsuan surat MK, padahal dia pelapor dan
tandatangannya yang dipalsukan. Dia menjadi tersangka atas laporannya dan atas
pemalsuan tandatangannya.
Beberapa
waktu kemarin Prof @JimlyAs (Jimly Asshiddqie)
mengatakan bahwa Antasari Azhar adalah korban peradilan sesat. Antasari disidangkan
dengan mengabaikan bukti-bukti yang ada. Baju dan mobil sebagai barang bukti
tidak dihadirkan dalam persidangan. Pistol yang dihadirkan di persidanganpun
macet. Keterangan
dari ahli forensik sepertinya tidak dipertimbangkan. Ahli forensik menyampaikan
telah ada manipulasi jasad korban. Menurut jaksa Nasrudin di bunuh dari jarak
jauh, padahal Ahli forensic bilang Nasrudin dibunuh jarak dekat. SMS yang
dianggap ancamanpun tidak pernah dibuka di persidangan.
a.
Sengkon dan Karta
Pada 1974 pernah terjadi kasus yang menimpa
Sengkon dan Karta, masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara. Keduanya
dituduh merampok dan membunuh suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa
Bojongsari, Bekasi, Jabar.
Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan
kedua terdakwa. Akhirnya
seorang napi bernama Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan
yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta. Gunel
diadili, terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara, Albert
Hasibuan seorang anggota DPR dan pengacara tersentuh hatinya dan mengusahakan
pembebasan Sengkon dan Karta. Sengkon dan Karta mengalami penderitaan luar
biasa. Menurut pengakuan, mereka dipukuli aparat. Lebih tersiksa lagi Sengkon
terserang TBC di penjara Cipinang. Kemudian tewas kecelakaan tak lama setelah
keluar dari penjara, sedangkan
Karta meninggal kemudian akibat menderita sakit parah.
b.
Cerita lain tentang Risman dan Rostin,
Suami-istri
tersebut divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tilamuta. Mereka
dituduh membunuh anak gadisnya sendiri, bernama Alta Lakoro. Tetapi, pada Rabu 26 Juni
2007, Alta yang menjadi korban dalam "pembunuhan palsu" tersebut
datang ke kampung halamannya. Risman
mengungkapkan bahwa keduanya dipaksa untuk mengakui penganiayaan yang
mengakibatkan kematian terhadap anaknya. Mereka disiksa sampai meninggalkan
cacat di tubuh. Vonis terhadap Risman-Rostin, dinilai cacat hukum karena hanya
memenuhi satu unsur barang bukti, yakni pengakuan terdakwa. Dalam kasus ini
pengakuan terdakwa menjadi satu-satunya bukti. Itu pun pengakuan yang terpaksa
dari terdakwa. Sementara
kerangka yang diduga Alta tidak masuk dalam kategori barang bukti karena tidak
melalui proses visum et repertum.
c.
Cerita lain adalah tentang Budi Harjono
Pria
kelahiran 1980 adalah korban salah tangkap, rekayasa, dan manipulasi penyidikan
polisi.
Ia dipenjara, dianiaya, dan dipaksa oleh penyidik satuan reserse Polsek Pondok
Gede dan Polres Metro Bekasi. Budi disuruh mengakui membunuh Ali Harta Winata
(ayahnya) serta menganiaya Sri Eni (ibunya). Polisi tetap membuat alur cerita
tersendiri, walaupun ibunya yang menjadi korban telah memberikan kesaksian
bahwa pelaku pembunuhan dan penganiayaan adalah Marsin, mantan pekerja toko
materialnya. Karena sejak kejadian pun menurut Budi, mereka sudah menyebut nama
Marsin, tapi penyidik tidak mempercayainya. Budi selama sembilan hari
sembilan malam diperiksa dan mengikuti rekayasa polisi. Dia dipukuli dan kedua
kakinya diinjak dengan kursi. Mereka
mengancam, kalau tidak mau mengikuti kemauan polisi, ibunya dilarang dioperasi
di rumah sakit. Padahal waktu itu sudah mau Lebaran dan dokter di RSPAD Gatot
Subroto memberikan waktu 3 hari untuk melakukan operasi. Sebelum terjadi radang
otak yang dapat mengakibatkan kematian atau gangguan otak. Budi akhirnya
terpaksa mengakui bahwa dirinya sebagai pelaku untuk menyelamatkan nyawa ibunya.
Selain itu, Sri Eni dan Ningsih juga dipaksa mendukung skenario penyidikan
polisi. Bahkan Sri Eni selama menjalani pemeriksaan dikurung di Polres Bekasi
dan dipersulit mengambil uang untuk biaya operasi. Waktu itu Eni disuruh bilang
saya berantem sama suaminya. Kalau tidak bilang begitu, kedua anaknya mau
dibunuh. Polisi kemudian menetapkan Budi sebagai tersangka setelah menyodorkan
uang Rp 50 ribu kepada Ningsih agar bersedia menjadi saksi. Dia disuruh cerita
melihat Budi menyeret jasad Ali ke dalam kamar mandi dan menganiaya ibunya. Proses
hukum terus berlanjut. Pada 14 Agustus 2003 Budi divonis bebas murni oleh hakim
setelah dipenjara selama enam bulan. Hakim melihat keganjilan dan kurangnya
bukti utk membuktikan Budi pelaku pembunuhan dan penganiayaan seperti yang
dituduhkan. Akhir Juli 2006 petugas dari Unit 2 Polda Metro Jaya mendatangi
Budi dan memberitahukan bahwa Marsin berhasil ditangkap di Cilacap. Marsin
mengakui semua perbuatan yang telah dilakukan terhadap keluarga Ali
d.
Cerita lain adalah tentang Iwan Setiawan
(44), warga Pasirkaliki Timur, Kota Bandung.
Iwan didakwa melakukan pembunuhan berencana
terhadap Ny Shi Geko Munetsuna, 31 Juli 2006. Iwan mengaku dipukul sebanyak dua
kali oleh polisi agar mengakui perbuatannya namun ia bertahan tidak mengaku. Polisi
menyatakan bukti darah di celananya adalah bekas membunuh padahal darah itu
berasal dari noda darah kaki. PN Bandung memutuskan vonis hukuman penjara
seumur hidup dan dikuatkan PT dengan hukuman yang sama namun diputus bebas oleh
MA
e.
Selanjutnya adalah cerita tentang Asun
Polisi dan
jaksa menjerat A Sun dan keluarganya sebagai terdakwa pembunuh Bun Lie Ngo. Menurut
jaksa di persidangan PN Singkawang, ketiganya dituduh secara bersama-sama
membunuh korban pada April 1995. Korban dibacok oleh ketiga terdakwa, karena Fu
Jan Lie cemburu melihat suaminya berselingkuh dengan korban. Sejak itu Fu Jan
Lie dendam. Ia bersama suami dan anaknya kemudian sepakat untuk menghabisi
korban. A Sun lantas dihukum 8 tahun penjara, sedangkan istri dan anaknya
masing-masing 10 tahun penjara. Hukuman ini diperkuat pengadilan tinggi, bahkan
kemudian mengatrol hukuman A Sun menjadi 10 tahun penjara.
Di mata Pengacara Jhon Pasulu, A Sun telah
menjadi korban peradilan sesat. Maka dia mengajukan kasasi. Rupanya Mahkamah
Agung berdiri di belakang A Sun. Menurut MA, pengadilan di bawahnya itu hanya
memeriksa berdasarkan pengakuan di BAP, tanpa didukung dengan alat bukti yang
sah. Padahal BAP tersebut telah dicabut oleh terdakwa di persidangan. Jadi
keterangan terdakwa di persidangan dan bukti yang sah itulah yang seharusnya
menjadi bahan pertimbangan. Ternyata, menurut majelis hakim agung, pengadilan
tinggi dan pengadilan negeri cuma mengadili berdasarkan BAP. Lebih dari itu,
menurut majelis, visum et repertum yang diajukan dalam persidangan belum bisa
menyebutkan penyebab kematian korban. Artinya, pengadilan tinggi dan pengadilan
negeri melanggar batas minimal pembuktian sebagaimana dalam KUHAP.
f.
Cerita lain adalah terpidana salah tangkap
Imam Khambali alias Kemat, dan Devid Eko Priyanto, dari Jombang.
Mereka dituduh melakukan pembunuhan atas
mayat dikebun tebu, bernama Asrori. Mereka mengaku sebagai pembunuh Asrori
karena siksaan polisi. Kebenaran baru terungkap ketika penyidikan kasus jagal
pembunuh 11 orang asal Jombang Feri Idham Henyansyah. Kemudian, surat kematian
dari Polda Jatim menyebut mayat di kebun tebu adalah jenazah Fausin Suyanto
alias Antonius. Juga pernyataan Mabes Polri yang menyebut hasil DNA mayat di
kebun tebu adalah Fausin Suyanto, bukan Asrori. Polri menyebut mayat Asrori,
berdasarkan uji DNA, ditemukan di belakang rumah Feri Idham Henyansah alias
Ryan. Ryan juga mengaku dialah yang membunuh Asrori.
Semoga menjadi bahan renungan untuk penegakan hukum di Indonesia
Kultwit : @aboebakar15
Layout :
PKSumbersuko


