KPK dibubarkan?
Sebagian orang yang sangat marah dengan Fahri Hamzah
sepekan belakangan ini, memang menjadikan dua kata itu sebagai
kesimpulan singkat atas gugatan panjang politisi asal NTB itu terhadap
KPK. Namun, selain teguran dan kritik pedas yang dituai Fahri akibat
statementnya pekan lalu, ada satu nuansa yang menarik diamati.
Pembelaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tidak
lagi ‘sebombastis’ seperti yang terjadi pada episode ‘cicak versus
buaya’ beberapa tahun lalu. Kini tidak ada lagi gerakan sejuta
Facebooker tolak pembubaran KPK misalnya. Tak ada pula demonstrasi besar
mendukung KPK seperti yang pernah tejadi di berbagai pelosok tanah air.
Apakah arti fenomena ini? Menurut saya, kenyataan ini menunjukkan dua
hal. Pertama, inilah potret riil menurunnya dukungan publik terhadap
KPK seperti yang telah dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia beberapa
waktu lalu. Dan kedua, saat ini telah tumbuh bagian dari publik yang
secara signifikan meragukan kredibilitas serta kecewa terhadap kiprah
KPK dalam membabat korupsi. Hanya saja, Fahri menjadi simbol paling
ekstrim dari gerakan kekecewaan terhadap KPK.
Pro kontra yang terjadi mengantarkan kita kepada dua pertanyaan
besar. Apakah seluruh gugatan terhadap KPK hanyalah ‘cercaan’ tanpa
dasar? Apakah kritik terhadap KPK, sebenarnya merupakan ilusi yang
sengaja diciptakan untuk menutupi gerakan pelemahan terhadap lembaga
KPK? Daripada terjebak pada debat kusir berkepanjangan, jawaban atas
pertanyaan itu haruslah diperoleh melalui evaluasi dengan indikator yang
objektif.
Dua Indikator
Di antara banyak indikator, ada dua indikator utama yang dapat
dijadikan bahan evaluasi objektif terhadap KPK. Nilai strategis kasus
yang ditangani dan deterrent effect yang dihasilkan, serta rasio
pengembalian aset negara yang berhasil dilakukan. Indikator pertama
menunjukkan bahwa KPK sebagai lembaga superbody haruslah menangani
kasus-kasus yang besar dari sisi kuantitas kerugian yang ditimbulkan,
serta rumit dari sisi kualitas dan pelaku kejahatan.
Bila KPK berhasil membongkar kasus besar, rumit, serta menghukum
mereka yang terlibat di dalamnya tanpa pandang bulu, tentu ini akan
menimbulkan gelombang efek jera yang luar biasa besar. Selanjutnya,
sebagai lembaga yang diberi kewenangan lebih, KPK harus mampu
menyelamatkan asset negara lebih banyak dibandingkan jumlah anggaran
yang diterima, dan dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Data menunjukkan bahwa hampir separuh kasus yang ditangani KPK
merupakan kasus pengadaan barang dan jasa dan 34 % di antaranya
merupakan kasus penyuapan. Ini berarti KPK masih menangani jenis kasus
korupsi konvensional. Dari sisi besaran kasus korupsi yang ditangani,
separuh lebih berada pada kisaran kerugian negara 1 sampai dengan 30
miliar rupiah. Data ini menggambarkan bahwa KPK masih saja berkutat pada kasus
korupsi biasa yang sebenarnya juga dapat ditangani oleh Kepolisian atau
Kejaksaan. Tingkat keberhasilan penanganan 100% yang sering dibanggakan
sebenarnya mudah dicapai, karena kasus yang ditangani KPK bukanlah kasus
yang sulit. Sayangnya, KPK justru sering terlihat lamban menangani
kasus-kasus big fish.
Mega skandal bail out Century dan mafia pajak seakan menjadi kasus
yang tidak tersentuh oleh tangan KPK. Padahal kerugian negara yang
ditimbulkan oleh dua kasus tersebut tidaklah kecil. Audit BPK
menyebutkan dengan clear adanya penyimpangan dalam pengucuran 6,7
triliun rupiah uang negara dalam bail out Bank Century. Sementara kasus
mafia pajak juga tak kalah dahsyat.
Anggota DPR komisi III Bambang Soesatyo pernah menaksir bahwa
kerugian negara yang ditimbulkan bisa berkisar 200 sampai dengan 300
trilliun rupiah setahun. Jika manuver Gayus yang pegawai rendahan saja,
bisa menyebabkan kerugian negara sampai 1,3 triliun rupiah dari 19
perusahaan yang ditangani. Kalikan saja angka itu dengan 151 perusahaan
besar yang pernah ditangani Gayus. Nah, ini baru Gayus sendirian.
Sehingga, angka kerugian 300 triliun rupiah menjadi tidak mustahil.
Triliunan rupiah kerugian negara pada dua kasus itu, tentu membuat
data kasus yang ditangani oleh KPK yang ‘hanya’ miliaran rupiah menjadi
kecil. Apalagi KPK masih saja menangani kasus yang menimpa oknum jaksa
dengan besaran barang bukti 10 juta rupiah. Ini tidak lantas berarti
kita menutup mata, sambil mengatakan bahwa korupsi kecil-kecilan itu
sah-sah saja.
Hanya saja KPK sebagai lembaga dengan kewenangan super, harusnya
mampu menangani kasus yang super pula. Kasus besar seperti kasus
perbankan yang jelas nilai kerugiannya berlipat-lipat harus menjadi
prioritas dibanding kasus korupsi konvensional yang secara tradisional
telah ditangani oleh penegak hukum lainnya. Akibatnya, efek deterrent
atau shock terapy yang dihasilkan KPK tidaklah sebesar yang diharapkan.
Imbas lainnya, jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK
(asset recovery) menjadi lebih kecil dengan anggaran yang diterima KPK.
Dengan 800 personel SDM dan kucuran dana 458,8 miliar rupiah pada 2010
lalu, KPK baru mampu menyelamatkan 175 miliar rupiah uang negara.
Buat saya, angka ini memberikan legitimasi atas gelombang frustasi
terhadap KPK yang lantang terdengar akhir akhir ini. Tidak bijak rasanya
bila petinggi KPK lantas menggeneralisir, kritik sebagai ‘serangan’
terhadap eksistensi KPK. Apalagi memberi stigma, bahwa kritik pedas,
sama dengan mendukung koruptor. Karena toh, predikat lembaga superbody
bukan dimaksud menjadikan KPK imun dari evaluasi. Selama KPK mampu
menunjukkan kinerja terbaik, tak usah khawatir. Pasti rakyat akan
membela. Jadi, siapa berani kritik KPK?
Oleh:
Rico Marbun adalah peneliti The Future Institute dan Dosen Universitas Paramadina. Email: ricoui@yahoo.com