“Bagaimana
bisa kurikulum Jawa diterapkan di Papua?” tanya seorang peserta Diklat
Kepempinan di Jayapura, Sabtu 19 Nopember 2011 kemarin. Ia berasal dari
Merauke.
“Apa contohnya?” tanya saya penasaran.
“Misalnya pelajaran membaca. I-ni Bu-di. I-tu i-bu Bu-di. Itu kan nama Jawa, di Papua tidak ada nama Budi. Harusnya disesuaikan dengan muatan lokal Papua, seperti nama-nama masyarakat Papua”, jawab peserta tersebut.
Tentu saja itu hanya contoh sederhana. Bagaimana anak-anak Papua menghafal nama Budi, padahal itu bukan bagian nama mereka. Coba baca nama tokoh-tokoh Papua, seperti Silas Papare, Yorrys Raweyai, Frans Kaisiepo, Lukas Enembe, Barnabas Suebu, Izaac Hindom, Jacobus Solossa, Freddy Numberi dan lain sebagainya. Tentu tidak sama coraknya dengan Budi Utomo atau Bambang Mintorogo.
Problem yang lebih mendasar tentu saja adalah kualitas pendidikan di wilayah Papua. Yang berada di wilayah perkotaan seperti Jayapura, Timika, Biak, atau Sorong saja, kualitas pendidikannya masih memprihatinkan. Apalagi jika kita pergi ke wilayah pedalaman Wamena, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, Paniai dan lain sebagainya. Rendahnya kesejahteraan, sulitnya transportasi, minimnya teknologi, saling berkelindan membentuk persoalan kian kompleks.
Di wilayah pedalaman dan pegunungan tersebut sangat banyak hal yang “tidak tersentuh”. Tidak tersentuh hukum, tidak tersentuh pendidikan, tidak tersentuh pemberdayaan, tidak tersentuh teknologi, tidak tersentuh kesejahteraan, tidak tersentuh pembinaan, tidak tersentuh pelayanan. Seorang pengurus Parpol di Propinsi Papua mengatakan, di wilayah pegunungan Papua sesungguhnya tidak pernah ada Pemilu. Tidak terbayang bagaimana menghadirkan kotak dan surat suara, membuat TPS, menghadirkan saksi dan lain sebagainya di wilayah pegunungan tersebut. Kendati tidak ada Pemilu, namun selalu ada berita acara dan hasil akhir perolehan suara.
Inilah salah satu PR besar Pemerintah Indonesia. Menjaga keutuhan NKRI tidak cukup dengan doktrin nasionalisme dan patriotisme. Menjaga keutuhan NKRI harus dimulai dengan “menyentuh” semua wilayah secara adil. Hukum dibuat untuk ditegakkan di seluruh wilayah NKRI tanpa kecuali. Pemerataan kualitas pendidikan untuk diterapkan di seluruh wilayah NKRI. Kesejahteraan harus bisa menyentuh semua wilayah NKRI tanpa kecuali. Pengembangan teknologi harus bisa menyentuh semua wilayah NKRI.
Ancaman yang sesungguhnya di depan mata bukanlah OPM (Organisasi Papua Merdeka), karena saya sangat yakin dengan kemampuan TNI dan Polri dalam menanganinya. Betapa mudah Densus 88 meringkus teroris, maka sedemikian mudah pula aparat TNI dan Polri akan mampu mengalahkan gerakan OPM. Itu harusnya masalah sederhana saja.
Ancaman kita sesunggunya adalah kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas SDM menjadi keniscayaan akibat buruknya kualitas pendidikan, rendahnya kesejahteraan, minimnya sarana dan prasarana di wilayah pedalaman, masih ditambah lagi dengan lemahnya penegakan hukum, mentalitas birokrasi dan sebagian pejabat publik yang tidak bisa menjadi teladan. Apalagi dibumbui ketidakkompakan antar lembaga negara yang sangat tampak di depan mata. Komplit sudah. Para elit terlibat konflik, pecahnya di tanah Papua.
Semua faktor itu telah menjalin ikatan dan rajutan yang saling menguatkan. Setiap kali ada konflik dan kerusuhan di tanah Papua, sulit mencari kesimpulan, sulit mencari aktor intelektual, sulit mencari penjelasan dan akhirnya sulit pula menyelesaikan. Apa yang sesungguhnya terjadi ? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas segala kondisi ini ?
I-ni Bu-di……
I-ni i-bu Bu-di……
Mungkinkah Budi yang harus bertanggung jawab ? Atau ibu Budi ? Hah ? Ngawur. Pasti Budi akan marah. Apalagi ibunya. Itu kan hanya nama rekaan dalam pelajaran membaca di Sekolah Dasar.
Jayapura, 19 Nopember 2011
“Apa contohnya?” tanya saya penasaran.
“Misalnya pelajaran membaca. I-ni Bu-di. I-tu i-bu Bu-di. Itu kan nama Jawa, di Papua tidak ada nama Budi. Harusnya disesuaikan dengan muatan lokal Papua, seperti nama-nama masyarakat Papua”, jawab peserta tersebut.
Tentu saja itu hanya contoh sederhana. Bagaimana anak-anak Papua menghafal nama Budi, padahal itu bukan bagian nama mereka. Coba baca nama tokoh-tokoh Papua, seperti Silas Papare, Yorrys Raweyai, Frans Kaisiepo, Lukas Enembe, Barnabas Suebu, Izaac Hindom, Jacobus Solossa, Freddy Numberi dan lain sebagainya. Tentu tidak sama coraknya dengan Budi Utomo atau Bambang Mintorogo.
Problem yang lebih mendasar tentu saja adalah kualitas pendidikan di wilayah Papua. Yang berada di wilayah perkotaan seperti Jayapura, Timika, Biak, atau Sorong saja, kualitas pendidikannya masih memprihatinkan. Apalagi jika kita pergi ke wilayah pedalaman Wamena, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, Paniai dan lain sebagainya. Rendahnya kesejahteraan, sulitnya transportasi, minimnya teknologi, saling berkelindan membentuk persoalan kian kompleks.
Di wilayah pedalaman dan pegunungan tersebut sangat banyak hal yang “tidak tersentuh”. Tidak tersentuh hukum, tidak tersentuh pendidikan, tidak tersentuh pemberdayaan, tidak tersentuh teknologi, tidak tersentuh kesejahteraan, tidak tersentuh pembinaan, tidak tersentuh pelayanan. Seorang pengurus Parpol di Propinsi Papua mengatakan, di wilayah pegunungan Papua sesungguhnya tidak pernah ada Pemilu. Tidak terbayang bagaimana menghadirkan kotak dan surat suara, membuat TPS, menghadirkan saksi dan lain sebagainya di wilayah pegunungan tersebut. Kendati tidak ada Pemilu, namun selalu ada berita acara dan hasil akhir perolehan suara.
Inilah salah satu PR besar Pemerintah Indonesia. Menjaga keutuhan NKRI tidak cukup dengan doktrin nasionalisme dan patriotisme. Menjaga keutuhan NKRI harus dimulai dengan “menyentuh” semua wilayah secara adil. Hukum dibuat untuk ditegakkan di seluruh wilayah NKRI tanpa kecuali. Pemerataan kualitas pendidikan untuk diterapkan di seluruh wilayah NKRI. Kesejahteraan harus bisa menyentuh semua wilayah NKRI tanpa kecuali. Pengembangan teknologi harus bisa menyentuh semua wilayah NKRI.
Ancaman yang sesungguhnya di depan mata bukanlah OPM (Organisasi Papua Merdeka), karena saya sangat yakin dengan kemampuan TNI dan Polri dalam menanganinya. Betapa mudah Densus 88 meringkus teroris, maka sedemikian mudah pula aparat TNI dan Polri akan mampu mengalahkan gerakan OPM. Itu harusnya masalah sederhana saja.
Ancaman kita sesunggunya adalah kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas SDM menjadi keniscayaan akibat buruknya kualitas pendidikan, rendahnya kesejahteraan, minimnya sarana dan prasarana di wilayah pedalaman, masih ditambah lagi dengan lemahnya penegakan hukum, mentalitas birokrasi dan sebagian pejabat publik yang tidak bisa menjadi teladan. Apalagi dibumbui ketidakkompakan antar lembaga negara yang sangat tampak di depan mata. Komplit sudah. Para elit terlibat konflik, pecahnya di tanah Papua.
Semua faktor itu telah menjalin ikatan dan rajutan yang saling menguatkan. Setiap kali ada konflik dan kerusuhan di tanah Papua, sulit mencari kesimpulan, sulit mencari aktor intelektual, sulit mencari penjelasan dan akhirnya sulit pula menyelesaikan. Apa yang sesungguhnya terjadi ? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas segala kondisi ini ?
I-ni Bu-di……
I-ni i-bu Bu-di……
Mungkinkah Budi yang harus bertanggung jawab ? Atau ibu Budi ? Hah ? Ngawur. Pasti Budi akan marah. Apalagi ibunya. Itu kan hanya nama rekaan dalam pelajaran membaca di Sekolah Dasar.
Jayapura, 19 Nopember 2011
Oleh : Cahyadi Takariawan
Sekretaris MPP, Tinggal di Jogjakarta
Sekretaris MPP, Tinggal di Jogjakarta