Sebuah buku berjudul: “Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek”, karangan Muhammad Syafi’i Antonio, dengan terang-terangan mengutip ayat-ayat kitab suci non muslim. Padahal buku itu adalah buku ekonomi syariah, ajaran Islam yang suci dan agung.
Kutipan itu ada pada halaman 43 dan 45, Bab IV: Riba dalam Perspektif Agama dan Sejarah. Halaman 43 Muhammad Syafi’i Antonio mengutip kitab umat Yahudi Testament (Perjanjian Lama) dan Talmud. Pada halaman 45 dikutip kitab milik umat Nasrani Perjanjian Baru. Semua itu dikutip untuk memperkuat argumentasi tentang mudharat riba. Di kesempatan lain, Muhammad Syafi’i Antonio juga sering mengajak umat agama lain konsisten menerapkan ajaran agama mereka meninggalkan riba dengan mengutip ayat-ayat kitab suci umat itu.
Bertahun-tahun buku itu beredar. Cetakan pertama tahun 2001. Tapi tidak pernah terdengar hujatan dari umat Islam untuk buku tersebut. Padahal buku itu masih terlihat berada di rak toko-toko buku sampai saat ini. Umat Islam seperti mengerti dan menerima pengutipan itu. Tidak ada yang mempersoalkan.
Tapi hal yang berbeda didapat oleh Nasril Djamil, anggota legislatif dari PKS. Dalam pandangan fraksi-fraksi di Komisi Hukum DPR terhadap RUU Peradilan Anak, seperti yang dilaporkan oleh inilah.com, Nasir Djamil juga mengutip ayat Injil. “Perlakuan terhadap anak-anak menjadi cerminan kesetiaan umat Kristiani terhadap Tuhan sebagaimana dalam Mathius 18 ayat 5.”
Setelah berita itu turun, hujatan datang bertubi-tubi dari sebagian umat Islam. Berbagai prasangka bermunculan, dari menyamakan syariat Islam dengan ajaran agama lain sampai Nasir Djamil tidak mempercayai Al-Qur’an lagi. Padahal dari redaksi statement Nasir Djamil yang dikutip inilah.com, jelas sekali Nasir Djamil mengutip ayat itu sebagai penguat argumentasi dan sasaran pembicaraan adalah umat kristiani, bukannya umat Islam. Nasir Djamil tidak sedang menggunakan ayat-ayat Injil untuk mendakwahi umat Islam agar memperlakukan anak-anak dengan baik.
Tapi seperti itulah, sebagian umat terburu-buru dan begitu mudah menghukumi hanya karena Nasir Djamil adalah seorang politikus. Bahkan hujatan tak kalah keras juga datang dari anggota pergerakan Islam yang anti demokrasi, mereka menuduh PKS telah menggadaikan aqidah demi suara. Wal ‘iyadzu billah.
Islam adalah agama yang lapang. Walau pun Umar bin Khattab pernah dilarang oleh Rasulullah mendalami Injil demi pemurnian agama Islam yang sedang diturunkan saat itu, tapi dalam kesempatan lain Rasulullah tak melarang umat Islam menyampaikan perkataan Bani Israil. Kuncinya adalah tidak membenarkan dan tidak mendustakan.
“Janganlah membenarkan apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya.” (HR Abu Dawud [3644], Ahmad [IV/136], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [XXII/874-879], al-Baihaqi [II/10], Ibnu Hibban [6257] dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [124]). “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat. Sampaikanlah riwayat dari Bani Israil tanpa harus merasa keberatan. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, silahkan menempati tempat duduknya di Neraka.” (HR Bukhari [3461]).
Islam melapangkan umatnya mengambil hikmah di mana saja. Kadang-kadang cerita Israiliyat disitir dalam sebuah kitab yang ditulis oleh ulama untuk diambil hikmahnya. Pikiran dan hati yang sempit lah yang tak bisa melihat kelapangan ini.
Pluralisme dan Terbuka
Hal lain yang sering dipersempit oleh pikiran sebagian umat adalah kata Pluralisme dan terbuka. Fatwa MUI, dan sudah menjadi kesepakatan umat Islam, telah final bahwa ajaran pluralisme agama adalah ajaran yang sesat. Tapi pluralisme agama yang sesat itu adalah sebagai suatu faham.
Sering orang bilang bahwa yang diperbolehkan itu adalah menerima pluralitas, bukan menerima pluralisme. Tapi kenyataannya dalam laman Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online (http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/), tidak ditemukan kata pluralitas. Yang ada adalah kata pluralisme. Islam dengan lapang menerima pluralisme dalam artian ini.
plu·ra·lis·me n keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya);
– kebudayaan berbagai kebudayaan yg berbeda-beda dl suatu masyarakat
Lalu ada seorang politikus partai Islam yang menyebut kata pluralisme dalam suatu maksud yang baik. Tanpa memandang konteks kata yang dipakai, hujatan pun datang menganggap politikus itu telah menggadaikan aqidah demi simpati masyarakat. Wal ‘iyadzu billah.
Yang paling baik adalah umat Islam harus menghindari penggunaan kata Pluralisme ini. Mengambil ibrah dari peristiwa saat Yahudi mengolok-olok para sahabat yang memanggil Rasulullah dengan panggilan “Raa’ina”. Saat itu Yahudi memelintir panggilan itu dengan “Ru’uunah” yang berarti kebodohan yang sangat. Lalu Allah swt memerintahkan umat Islam mengganti panggilan mereka kepada Rasulullah dengan “Unzhurna” yang memiliki arti yang sama dengan “Raa’ina” (QS Al-Baqarah : 104). Maka sudah seharusnya umat Islam menghindari pemakaian kata pluralisme dan menggantinya dengan keragaman atau kata lain yang mengandung arti yang sama. Agar umat Islam tidak terjebak dalam permainan retorika kaum yang sesat.
Juga pada kata terbuka. Saat kata itu diimplementasikan dengan menerima kalangan non muslim – yang tidak memerangi umat Islam – untuk bekerja sama dalam kebaikan, sebagian umat Islam buru-buru melontarkan tuduhan bahwa umat non muslim itu telah diangkat sebagai wali dan wala’ wal baro pun rusak.
Kalau hati dan pikiran yang lapang yang dipakai, tentu akan terlihat jelas bahwa interaksi dengan non muslim itu adalah sekedar interaksi yang wajar dalam tolong menolong dalam kebaikan. Dan di daerah mayoritas non muslim – yang tak memerangi umat Islam, umat Islam wajar berkompromi dengan salah satu calon pemimpin disana demi mendapatkan penguasa dengan sikap yang koperatif dan akomodatif terhadap umat Islam.
Yang Sempit dan Lapang Memandang Pancasila
Hikmah, dimana pun ditemukan adalah milik umat Islam yang hilang, begitu bunyi pepatah. Saat founding father bangsa ini merumuskan sebuah ajaran penuh hikmah bernama pancasila, maka itu adalah milik umat Islam. Saat orde baru memang terjadi “penuhanan” terhadap Pancasila, tapi bukan Pancasila itu sendiri yang menghendaki dituhankan. Orde baru lah yang menuhankan dirinya dan menjadikan Pancasila sebagai alat pukul yang diarahkan pada umat Islam. Wajar terjadi permusuhan dan anggapan Pancasila adalah thoghut saat itu.
Tapi saat Pancasila sudah lepas dari tangan tirani, selayaknya hati dan pikiran yang lapang menyadari bahwa Pancasila punya kesesuaian dengan ajaran Islam. Dan jangan pernah mau Pancasila digunakan untuk menolak penerapan syariat Islam. Justru umat Islam bisa menjadikan Pancasila sebagai alasan penerapan syariat Islam.
Dibutuhkan kelapangan hati dan pikiran dalam memandang Pancasila dengan objektif. Hati yang sempit menyebabkan mudah terlontarnya tuduhan tak pantas kepada muslim lain yang menerima Pancasila. Padahal muslim itu hanya memandang Pancasila sebagai ajaran yang sarat hikmah, dan bukan sebagai pengganti ajaran Islam. Wal ‘iyadzu billah.
Kelapangan dalam Keragaman
Hidup dalam negeri yang punya keragaman suku dan agama, dituntut kedewasaan dan sikap yang fleksibel tanpa melanggar hal yang prinsip. Tuntutan menghadirkan wajah Islam yang damai adalah tuntutan yang haq meski kadang terlontar dari pemikir sepilis (sekuler, pluralis dan liberalis). Tentu wajah Islam yang damai bukan wajah Islam ala sepilis yang penuh penyimpangan.
Umat Islam – walau dalam komunitas yang berbeda – adalah yang paling pertama yang berhak mendapatkan senyum dari wajah Islam yang damai. Sering kali ada tuduhan bahwa sekelompok orang melakukan pembelaan buta terhadap tokohnya, padahal kenyataannya kelompok lain lah yang melontarkan tuduhan buta dan sempit.