KAJIAN KITAB DURAR AL-SULUK FI SIYASAT AL-MULUK
Karya: Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Habib al-Mawardi (w. 450 H)
Oleh: Ust. Musyaffa Abdurrahim, Lc
Bidang Pembinaan Kader DPP-PKS
---
Petuah_04
(Petuah-petuah Taujih Siyasi Untuk Para Raja dan Pemimpin)
Karya: Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Habib al-Mawardi (w. 450 H)
Oleh: Ust. Musyaffa Abdurrahim, Lc
Bidang Pembinaan Kader DPP-PKS
---
Petuah_04
فَإِذَا بَدَأَ الْإِنْسَانُ بِسِيَاسَةِ نَفْسِهِ كَانَ عَلَى سِيَاسَةِ غَيْرِهِ أَقْدَرُ، وَإِذَا أَهْمَلَ مُرَاعَاةَ نَفْسِهِ كَانَ بِإهْمَالِ غَيْرِهِ أَجْدَرُ
وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاء الْمُتَقَدِّمِيْنَ: مَنْ بَدَأَ بِسِيَاسَةِ نَفْسِهِ أَدْرَكَ سِيَاسَةَ النَّاسِ
وَقَدْ قِيْلَ فِيْ مَنْثُوْرِ الْحِكَمِ: لَا يَنْبَغِيْ لِلْعَاقِلِ أَنْ يَطْلُبَ طَاعَةَ غَيْرِهِ وَطَاعَةُ نَفْسِهِ مُمْتَنِعَةٌ عَلَيْهِ
قَالَ الشَّاعِر
(أَتَطْمَعُ أَنْ يُطِيْعَكَ قَلْبُ سَعْدَى ... تَزْعُمُ أَنَّ قَلْبَكَ قَدْ عَصَاكَا)
Maka, jika seseorang mulai menerapkan siyasat pada dirinya, maka untuk menerapkan siyasat pada orang lain akan lebih mampu.
Sebaliknya, jika ia mengabaikan dirinya, maka akan lebih mengabaikan orang lainnya.
Sebagian ahli hikmah dari masa lalu berkata: “siapa yang memulai mensiasati dirinya maka ia akan lebih mengerti bagaimana mensiasati manusia (orang lain)”.
Terhitung dalam untaian hikmah: “tidak seyogyanya seorang yang berakal menuntut orang lain untuk taat kepadanya, sementara nafsunya (dirinya sendiri) tidak mau taat kepadanya.
Seorang penyair berkata:
Adakah engkau berharap hati Sa’daa taat dan tunduk kepadamu
Sementara kamu mengatakan bahwa hatimu tidak tunduk kepadamu
Ulasan:
Yang ingin saya garis bawahi dari kutipan petuah ini adalah:
1. Imam Mawardi, membagi bukunya: “Durar As-Suluk fi Siyasat al-Muluk” menjadi dua bab; bab 1 terkait dengan akhlaq-akhlaq yang harus dimiliki oleh seorang raja, atau pemimpin atau politisi, dan bab 2 berisi akhlaq seorang raja, atau pemimpin, atau politisi kepada orang lain.
Jika seorang raja, atau pemimpin, atau politisi mampu menghiasi dirinya dengan akhlaq-akhlaq yang akan disebutkan nanti, maka ia akan sukses – biidznillah – dalam memimpin rakyatnya.
2. Namun, perlu diketahui dan diingat bahwa untuk menghiasi diri dengan akhlaq-akhlaq yang akan dijelaskan pada bab 1 ini, diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh, yaitu: riyadhah, ta’dib, tadrij, takhalluq, takalluf dan tathabbu’, sebagaimana telah dijelaskan pada PETUAH_3.
3. Semua upaya serius dan sungguh-sungguh dalam riyadhah, ta’dib, tadrij, takhalluq, takalluf dan tathabbu’ inilah yang dalam PETUAH_4 ini disebut oleh Imam Mawardi dengan istilah siyasat nafsihi (mensiasati diri sendiri).
4. Dan – menurut beliau – jika seseorang telah berhasil mensiasati diri sendiri, maka:
a. InsyaAllah akan berhasil dalam mensiasati orang lain.
b. InsyaAllah akan mengerti dan memahami bagaimana mensiasati orang lain.
Sebaliknya, jika ia gagal dalam mensiasati diri sendiri, terlebih lagi kalau sampai ia mengabaikan diri sendiri, maka, akan lebih gagal lagi dalam mensiasati orang lain.
Jadi, seorang raja, atau pemimpin, atau politisi, hendaklah memulai dengan perbaikan diri sendiri terlebih dahulu sebelum meminta orang lain untuk memperbaiki diri mereka.
Petuah_05
وَرُبمَا حَسُنَ ظَنُّ الْإِنْسَانِ بِنَفْسِهِ فَأَغْفَلَ مُرَاعَاةَ أَخْلاَقِهِ فَدَعَاهُ حُسْنُ الظَّنِّ بِهَا إِلَى الرِّضَا عَنْهَا دَاعِيًا إِلَى الاِنْقِيَادِ لَهَا فَفَسَدَ مِنْهُ مَا كَانَ صَالِحًا وَلمْ يُصْلِحْ مِنْهَا مَا كَانَ فَاسِدًا لِأَن الْهَوَى أَغْلَبُ مِنَ الآرَاءِ، وَالنَّفْسُ أَجْوَرُ مِنَ الْأَعْدَاءِ، لِأَنَّهَا بِالسُّوْءِ أَمَّارَةٌ، وَإِلَى الشَّهَوَاتِ مَائِلَةٌ، وَكَذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اَلشَّدِيْدُ مَنْ مَلَكَ نَفْسَهُ"[1]
قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: مَنْ رَضِيَ عَنْ نَفْسِهِ أَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Seringkali manusia ber-husnuzh-zhan terhadap nafsu sendiri, akibatnya ia melalaikan perhatian terhadap akhlaqnya.
Akibat selanjutnya dari husnuzh-zhan terhadap nafsu sendiri ini adalah ia cukup puas dengan apa yang sudah ada padanya, dan tunduk menyerah kepadanya.
Akibatnya, apa yang sudah baik pada dirinya menjadi rusak, sementara yang sudah rusak tidak akan diperbaiki olehnya.
Yang demikian ini karena hawa nafsu lebih dominan daripada pandangan pemikiran, sementara nafsu lebih jahat daripada para musuh, sebab nafsu sangat pandai dalam memberi perintah kepada kebusukan dan lebih tertarik kepada berbagai kesenangan. Demikianlah sabda Rasulullah SAW: “Orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya”.
Sebagian ahli hikmah berkata: “Siapa yang puas dengan keberadaan dirinya, maka ia membuat benci orang lain”.
Ulasan:
Ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi dari PETUAH Imam Mawardi ini, diantaranya adalah:
1. Dalam rangka men-siyasat-i diri agar seorang raja, atau pemimpin, atau politisi memiliki akhlaq yang mulia, ia tidak dibenarkan ber-husnuzh-zhan kepada nafsunya, sebab husnuzh-zhan kepada nafsu sendiri memiliki rentetan sebab akibat yang panjang, yaitu:
a. Mengabaikan upayanya untuk memperbaiki akhlaqnya. Akibat lanjutannya adalah
b. Cukup puas dan ridha kepada nafsunya. Akibat lanjutannya adalah
c. Seorang raja, atau pemimpin, atau politisi, akan tunduk menyerah kepada kemauan nafsu. Akibat selanjutnya adalah
d. Akhlaq-akhlaq baik yang telah ada pada diri seorang raja, atau pemimpin, atau politisi akan menjadi rusak, sementara akhlaq-akhlaqnya yang rusak belum ia perbaiki. Akibat selanjutnya adalah
e. Semua orang akan membenci dan tidak menyukai sang raja, atau pemimpin atau politisi.
2. Kenapa demikian? Sebab:
a. Hawa nafsu akan mengalahkan daya nalar dan daya pikir seseorang.
b. Nafsu lebih jahat daripada para musuh, karena perintah-perintah nafsu selalu diarahkan kepada kejahatan dan kebusukan.
c. Nafsu selalu cenderung kepada berbagai syahwat dan kesenangan.
3. Inilah salah satu rahasia dari petunjuk Rasulullah SAW agar seorang raja, atau pemimpin atau politisi memiliki kemampuan untuk mengendalikan nafsunya, khususnya di saat ia sedang emosi atau marah. Dan kalau seorang raja, atau pemimpin, atau politisi mampu mengendalikan nafsunya, berarti ia telah menjadi seorang yang kuat dan hebat.
----
[1] Kutipan dari hadits: لَيسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ اَلَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ (متفق عليه) (orang kuat itu bukanlah yang kuat dalam bergulat, orang kuat tidak lain adalah yang mampu mengendalikan nafsunya saat marah) [muttafaqun ‘alaih; Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2608.
Bagian Kedua Klik