Ir. H. Artono |
Seiring dengan arus globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang begitu deras membawa dampak yang nyata terhadap keberlangsungan kegiatan ekonomi, baik dalam skala regional, nasional maupun daerah. Atas kondisi ekseternal tersebut harus membangkitkan kesadaran kolektif, bahwa saat ini produk-produk asing telah membanjiri pasar domestik Indonesia sampai ke tingkat daerah, khususnya Jawa Timur.
Jika kita berkunjung dan bekeliling ke pusat-pusat pertokoan di Jawa Timur, maka kita akan dengan mudah menemukan berbagai jenis produk asing yang sejenis dengan produk hasil karya UMKM di Jawa Timur. Seperti produk mainan anak-anak, makanan dan buah-buahan, pakaian, sandal dan sepatu dan produk-produk lain.
Maraknya berbagai produk asing, terutama dari China tidak saja membanjiri toko-toko swalayan besar, tapi juga merebak ke pelbagai pasar, baik pasar tradisional maupun pasar-pasar kampung. Sebut saja misalnya di Pasar Darmo Trade Center (DTC), banyak stand toko pakaian yang menjajakan produk China, tak hanya pakaian, pelbagai mainan anak-anak juga membludak. Sebagian besar didominasi oleh made in China. Bahkan diantara penjaga stand toko di pasar dan mall, lebih bersemangat menawarkan produk China daripada produk lokal. Menurut para penjaga toko, produk China di samping harganya 20% lebih murah dari produk lokal, juga produk China lebih bervariatif dan bermotif.
Industri persepatuan juga tak luput dari serangan produk China. Di Surabaya, sebut saja misalnya, di daerah Praban yang selama 30 tahun lebih menjadi pusat perjualan sepatu produk dalam negeri, terutama yang paling banyak adalah industri rumahan, sudah mulai sepi pembeli. Para pedagang mengaku omset penjualannya akhir-akhir ini turun sampai 30%. Para pembeli lebih melirik produk sepatu buatan China daripada produk kita sendiri. Menurut pembeli, produk China lebih murah dari produk dalam negeri (Surabaya Post, 18/01/2010). Para pedagang khawatir, jika kondisi ini terus berlangsung, keberlangsungan usaha dagang mereka akan terancam. Dan yang paling akan merasakan adalah industri sepatu rumahan atau bahkan industry kelas menengah seperti di Tanggulangin Sidoarjo, -pelan tapi pasti- akan gulung tikar. Sepatu produk dalam negeri akan jadi “sampah” di pasar kita sendiri, sementara produk asing akan jadi tuan.
Kondisi tersebut semakin terasa seiring dengan telah diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) sejak Januari 2010. Pasar daerah lebih disemarakkan dengan kehadiran produk China, dibanding produk lokal. Dalam perjanjian bebas tersebut, produk atau barang dari ASEAN dan China bebas masuk ke negara manapun di kawasan ASEAN yang sudah bersepakat menandatangani perjanjian tersebut. Produk yang berlalu lintas di kawasan ASEAN dan China sudah tidak dikenakan bea masuk. Produk asing sudah mengalir deras ke berbagai daerah, termasuk ke Jawa Timur.
Kondisi tersebut tentu saja akan berdampak pada keberadaan produk-produk yang diproduksi oleh Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Liberalisasi ekonomi tersebut, bisa menjadi ancaman sekaligus juga peluang bagi produk UMKM. Akan menjadi peluang yang besar, jika produk-produk UMKM memiliki nilai kompetitif yang tinggi sehingga mampu bersaing dengan produk lain. Sedangkan akan menjadi ancaman, jika UMKM tidak siap dan produk yang dihasilkan kalah bersaing.
Dalam kondisi seperti ini, keberadaan UMKM daerah, pelan tapi pasti akan tergerus dengan semakin membanjirnya produk asing tersebut.
Keberadaan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) mempunyai peran yang sangat penting dalam struktur perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia dan khususnya di Jawa Timur. Keberhasilannya sebagai tulang punggung perekonomian di banyak negara tidak perlu diragukan lagi, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja, ketangguhannya dalam menghadapi pasang surutnya pertumbuhan ekonomi maupun kemampuan memberi kontribusi pada GDP suatu Negara.
Peran dan nilai strategis UMKM ini yang paling riil dan bisa dirasakan oleh masyarakat di dalam perekonomian Indonesia, dan khususnya Jawa Timur adalah Sektor UMKM telah memberikan bukti nyata, di tengah gejolak dan krisis ekonomi dan multidimensional yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, UMKM mampu survive (bertahan). UMKM ini juga bisa dikatakan sebagai sector usaha yang bersifat elastis; bisa bergerak dan bertahan di tengah gejolak dan krisis ekonomi.
Bahkan, ketika BBM melejit pun UMKM walaupun ikut terpukul mampu menghadapi realitas perubahan iklim perekonomian dan menyelamatkan jutaan tenaga kerja potensial yang ada untuk tetap dapat survive sehingga pada gilirannya gejolak sosial yang timbul dapat tereliminir. Dengan kata lain, UMKM juga berperan dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran baik langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, dibandingkan dengan sektor usaha dalam skala besar, sektor UMKM ini sesunguhnya merupkaan sector ekonomi yang memliki tingkat efisiensi yang tinggi. UMKM yang lebih banyak dikelola dan menjadi milik keluarga atau komunitas-komunitas kecil, memiliki tingkat flesibilitas dan elastisitas tinggi dalam menghadapi perubahan pasar. Saat ini di Jatim terdapat kurang lebih 4,2 juta unit UMKM, di mana 3,5 juta unit usaha masuk kategori mikro.
Dengan jumlah cukup besar ini, memiliki potensi yang besar dan menjanjikan bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Lebih khusus lagi, dengan jumlah UMKM sebesar itu, telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dan menjanjikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jatim. Maka kedepan sektor UMKM dipastikan akan menjadi penopang perekonomian Jatim. Karena itu, kepedulian dan keberpihakan pada UMKM ini harus tetap dan terus digalakkan.
Program pemberdayaan UMKM adalah sebuah keniscayaan untuk menjawab persoalan internal UMKM dan tantangan eksternal (baca: liberalisasi ekonomi global). Dalam konteks pemberdayaan UMKM, peran nyata yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah :
- Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UMKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan.
- Mempermudah perijinan, pajak dan restribusi lainnya.
- Mempermudah akses pada bahan baku, teknologi dan informasi, dan akses pendanaan terhadap lembaga keuangan.
- Menyediakan bantuan teknis (pelatihan, penelitian) dan pendampingan serta manajemen kelembagaan dan SDM.
- Pemerintah daerah perlu memfasilitasi dalam membuka dan mengembangan akses pasar bagi produk-produk UMKM.
- Memfasilitasi UMKM dalam membangun jaringan kemitraan usaha.
- Pemerintah daerah harus mengusahakan produk-produk UMKM yang mempunyai keunggulan komparatif dan atau keunggulan kompetitif agar dapat bersaing di pasar (regional dan global).
- Pemerintah daerah harus memfokuskan upayanya kepada jenis-jenis usaha dan komoditi prioritas daerah aktual dan potensial yang memiliki prospek dan peluang terbaik bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di daerah. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat pemerintah daerah dihadapkan pada constraint keterbatasan APBD dalam membiayainya.
Permodalan merupakan hal yang paling esensi apabila pelaku usaha akan memulai suatu usaha dalam memproduksi barang maupun jasa. Kondisi perekonomian kita saat ini diakui atau tidak masih memberikan tekanan yang cukup serius pada sektor riil (walaupun sudah berjalan namun sangat lambat), iklim usaha yang kurang kondusif serta adanya sikap dunia perbankan yang prudent (hati-hati) dalam menyalurkan kreditnya kepada dunia usaha sehingga mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan berjalan kurang optimal.
Oleh karena itu, Pemerintah Propinsi Jawa Timur perlu melakukan langkah-langkah antisipatif, akseleratif dan protektif terhadap keberadaan dan pengembangan UMKM. Di tingkat pusat, langkah protektif, salah satunya dengan lahirnya regulasi yang khusus mengatur keberadaan UMKM, yakni Undang-Undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di tingkat daerah, Instrumen yuridis tersebut diperkuat dengan Raperda Pemberdayaan UMKM ini. Namun demikian, langkah regulatif tersebut tidaklah cukup. Langkah regulatif tersebut harus diikuti dengan tindakan yang nyata, yakni Pemerintah Provinsi Jatim perlu untuk melakukan pengembangan dan penciptaan iklim usaha yang kondusif berupa akses usaha yang mudah dan terjangkau. (Riff)
Oleh : Ir. H. Artono
(Anggota Komisi B (Perekonomian) DPRD Jatim, Bendahara Fraksi PKS DPRD Jatim)