Pria Tionghoa ini tak menyangka kebenciannya pada Muslim berbuah
rengkuhan Islam. Di matanya kala itu, Muslim tak lebih dari sebuah
golongan yang memberinya dan keluarganya sebuah pengalaman pahit.
Steven marah dan bertekad membalasnya. Ia mempelajari filsafat Islam, memahami seluk beluk agama itu, dan mendebat siapa pun yang berstatus Muslim. Hingga akhirnya, Steven menemukan kebenaran dari semua yang telah dipelajarinya.
Steven berislam 11 tahun lalu, saat usianya baru 19 tahun. Kebenaran Islam yang membawanya pada agama Allah, bukan kekaguman pada apa pun atau siapa pun. “Aku belajar (Islam), bukan terinspirasi apa pun,” katanya.
Bahkan, ia mengaku benci pada orang Islam kala itu. Kerusuhan 1998 dipandangnya sebagai wujud pencitraan wajah Muslim yang merupakan penduduk mayoritas Indonesia. “Itu pengalaman pahit bagi warga Tionghoa. Pada masa itu, aku kehilangan beberapa sanak keluarga yang tewas karena dibantai.”
Beberapa tahun sebelum krisis nasional itu, saat Steven duduk di bangku sekolah dasar, orang tuanya mengirimnya ke asrama Katolik atas wasiat almarhum neneknya. Beranjak remaja, ia mengikuti seminari untuk memperdalam ajaran Katolik. Di sana, filsafat Islam menjadi salah satu bidang ilmu yang didalami.
Pasca peristiwa 1998 yang traumatis itu, Steven mempertekun pendalamannya tentang Filsafat Islam untuk membayar kemarahannya. “Aku jelas tak mungkin membalas kekerasan itu dengan perang fisik, apalagi dengan membunuh. Karena itu, aku bertekad membalasnya dengan menghajar akidah mereka,” geramnya.
Begitulah, Steven belajar Islam untuk ‘membalas dendam.’ Berkat pendalamannya itu, ia selalu siap dan percaya diri untuk berdebat dengan setiap Muslim yang ditemuinya. “Satu lagi kelemahan Muslim kutemukan pada masa itu, saat sebagian besar mereka tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama mereka sendiri,” ujarnya prihatin.
Steven terus membekali diri. Ia terus belajar, hingga akhirnya tahu bahwa ajaran Islam benar. Kebencian pada Muslim yang pernah dirasakannya tak menghalangi hatinya untuk menerima kebenaran Islam.
“Semua yang diajarkan Islam benar. Melihat para Muslim yang berperangai tidak baik, aku melihatnya sebagai kesalahan yang bersumber dari diri mereka. Mereka tidak berperilaku sesuai ajaran Islam,” ujarnya.
Steven marah dan bertekad membalasnya. Ia mempelajari filsafat Islam, memahami seluk beluk agama itu, dan mendebat siapa pun yang berstatus Muslim. Hingga akhirnya, Steven menemukan kebenaran dari semua yang telah dipelajarinya.
Steven berislam 11 tahun lalu, saat usianya baru 19 tahun. Kebenaran Islam yang membawanya pada agama Allah, bukan kekaguman pada apa pun atau siapa pun. “Aku belajar (Islam), bukan terinspirasi apa pun,” katanya.
Bahkan, ia mengaku benci pada orang Islam kala itu. Kerusuhan 1998 dipandangnya sebagai wujud pencitraan wajah Muslim yang merupakan penduduk mayoritas Indonesia. “Itu pengalaman pahit bagi warga Tionghoa. Pada masa itu, aku kehilangan beberapa sanak keluarga yang tewas karena dibantai.”
Beberapa tahun sebelum krisis nasional itu, saat Steven duduk di bangku sekolah dasar, orang tuanya mengirimnya ke asrama Katolik atas wasiat almarhum neneknya. Beranjak remaja, ia mengikuti seminari untuk memperdalam ajaran Katolik. Di sana, filsafat Islam menjadi salah satu bidang ilmu yang didalami.
Pasca peristiwa 1998 yang traumatis itu, Steven mempertekun pendalamannya tentang Filsafat Islam untuk membayar kemarahannya. “Aku jelas tak mungkin membalas kekerasan itu dengan perang fisik, apalagi dengan membunuh. Karena itu, aku bertekad membalasnya dengan menghajar akidah mereka,” geramnya.
Begitulah, Steven belajar Islam untuk ‘membalas dendam.’ Berkat pendalamannya itu, ia selalu siap dan percaya diri untuk berdebat dengan setiap Muslim yang ditemuinya. “Satu lagi kelemahan Muslim kutemukan pada masa itu, saat sebagian besar mereka tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama mereka sendiri,” ujarnya prihatin.
Steven terus membekali diri. Ia terus belajar, hingga akhirnya tahu bahwa ajaran Islam benar. Kebencian pada Muslim yang pernah dirasakannya tak menghalangi hatinya untuk menerima kebenaran Islam.
“Semua yang diajarkan Islam benar. Melihat para Muslim yang berperangai tidak baik, aku melihatnya sebagai kesalahan yang bersumber dari diri mereka. Mereka tidak berperilaku sesuai ajaran Islam,” ujarnya.